DT. 9

12.1K 577 2
                                    

Aku memasuki ruang perpustakaan dengan langkah lesu. Memilih salah satu meja tak berpenghuni. Kuempaskan tubuh di atas kursi, lalu melepas tas dari pundak, menyimpannya di atas meja.

Hari ini ada buku yang harus dikembalikan. Kubuka tas, mencarinya. Alangkah terkejutnya ketika kudapati benda itu, ada selembar kertas tertempel di sampul depan.

SORRY
-Zay-

Sorry?

Apa maksudnya?

Aku berpikir selama beberapa detik.

Astaga, aku lupa. Bukankah ini hari ke tiga aku berangkat sendiri ke kampus?

Akhirnya kusandarkan punggung, menatap kertas itu. Ah, kenapa tiba-tiba merasa bersalah padanya?

Apa mungkin karena pagi ini aku kembali berangkat tanpa pamit, sampai harus sembunyi-sembunyi dari Mama Hani dan Papa Arsyad karena takut ditegur?

Alasannya? Tentu saja gara-gara kejutan Zay seminggu lalu itu. Hingga detik ini, aku masih belum mengeluarkan sepatah kata pun padanya. Jangankan berbicara, setiap dia bertanya aku pura-pura tidak mendengar. Enggan membalas tatapannya pun.

Nyaman? Tidak sama sekali. Kupikir ini akan jadi pembalasan terbaikku, nyatanya ....

Seminggu ini, aku malah tersiksa karena ulahku sendiri yang terus menjauhinya. Bahkan beberapa hari lalu ketika dia memaksa mengantar dan menjemputku, aku tak sanggup berkata atau pun berbuat apa-apa.

Mungkin itu alasannya, selama tiga hari ini dia tidak mencegah ketika melihatku berangkat tanpa pamit pada orangtuanya.

Aneh? Memang. Parahnya aku tak pernah tahu, apa alasannya sampai aku seperti ini?

Lagi pula, kenapa harus marah. Bukankah niatnya itu baik?

Baik?

Tidak-tidak, ini tidak baik.

Aku benar-benar tidak suka dengan usahanya untuk mencari tahu tentang masa laluku. Aku kesal dengan sikapnya. Karena ulahnya itu, membuat luka yang sudah aku obati hingga sembuh, kini harus kembali berdarah.

***

Aku keluar dari kelas. Berjalan pelan di lorong kampus, dengan kepala tertunduk. Malas yang menggelayut. Kalau bukan karena ujian, lebih baik aku bolos.

"Eheum!"

Dari ekor mata, bisa kulihat sepatu siapa itu. Wangi tubuhnya sudah lebih dulu menyerobok hidung.

"Gimana ujiannya?" Dia berjalan mensejajari langkahku.
Awalnya aku tak ingin menjawab, tapi mengingat note-nya tadi pagi, kurasa dia juga merasa bersalah. "Bukankah Anda sudah tau bagaimana kapasitas otak saya, Pak Dosen?" sahutku akhirnya.

Zay terkekeh. "Jangan merendah, Alena. Aku tau kamu pintar. Saat SMA dulu bukankah kamu salah satu murid berprestasi di sekolah?"

"Itu dulu," elakku dengan nada terkesan ragu.

"Jika dulu kamu pintar, lalu kenapa sekarang harus berubah?"

"Aku tidak berubah, aku hanya ...."

"Hatimu yang belum sanggup menerima ini semua. Iya, 'kan?"

Derap kakiku berhenti, menatap punggungnya yang terus menjauh. Beberapa detik kemudian, dia pun berhenti. Perlahan tubuhnya berbalik, senyum tipis terukir di wajah lembut itu.

"Come on!" Kepalanya bergerak memberi isyarat.

"Ke mana?"

Namun, dia malah berjalan cepat menghampiri, lalu menggandeng lenganku. "Lupakan sejenak status kita sebagai mahasiswi dan dosen," ucapnya.

DOSENKU TENGIL (END @Webnovel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang