DT. 7

12.8K 610 4
                                    

Aku terenyak, saat setumpuk buku dia simpan di hadapanku.

"Apaan ini?"

"Buku. Kamu pikir apa?" Dia berkata sambil berkacak pinggang. "Menu makanan?" Lalu sedikit membungkuk ke arahku.

Aku menarik kursi sedikit lebih jauh dari meja, mengembuskan napas, memutar bola mata, bersamaan. Sembari membatin, kuatkan aku, Tuhan!

"Kemarin Pak Herman melaporkan nilai kuismu."

Aku memejamkan mata. Siaga 45, tidak salah lagi.

"Ini, lihat!" sentaknya.

Terpaksa kuluruskan kembali wajah. Memincingkan mata ke arah selembar kertas yang terpampang dengan nilai E, tepat di depan kepalaku!

"Sudah kubilang, mulailah sering-sering membaca buku materi, bukan novel. Dasar mahasiswi ngeyel!" ocehnya, kemudian menyimpan kertas itu di meja.

"Itu 'kan hanya kuis, bukan ujian," sanggahku santai.

"Ujian atau kuis, yang jelas otakmu itu enggak bisa dipakai buat berpikir. Aku jadi penasaran. Apa sebenarnya yang ada di dalam otakmu?"

Kedua mataku melotot.

"Apa isinya, heh?" lanjutnya. Zay memiringkan kepala dengan kedua tangan terlipat di dada.

Isinya?!

Memang, apa isi otakku?

"Dasar dosen tengil!" umpatku sambil berdiri.

"Tapi aku suamimu."

Kaki yang hendak melangkah, urung mendengar suara lembutnya. Aku kembali berdiri di hadapannya, terhalang oleh meja kayu berisi tumpukan buku itu.

"Aku sudah mengundurkan diri sebagai dosen pembimbingmu. Dan sebagai gantinya, aku menjadi pembimbingmu di rumah. Kurasa itu lebih baik, dan kupikir kamu menyukainya, Alena. Mudah, 'kan?"

Kukedipkan mata, mendengar kata-katanya. Mudah dia bilang?

Menikah dengannya, apa itu mudah?

Dibimbing olehnya, apa itu mudah?

Mengenyahkan semua asumsi-asumsi ini, apa itu mudah?

Juga, menghilangkan debar yang selalu datang secara tiba-tiba, apa itu mudah, Alena?

Akhirnya, aku pun duduk dengan pasrah. Entah malaikat mana yang menyuruhku untuk bersikap baik seperti ini?

***

"Udah." Aku menyodorkan buku padanya.

Zay mengalihkan pandangan sebentar hanya untuk meraih buku, lalu mulai membaca tulisanku.

Sekitar satu menit, wajah serius itu terdiam.

Ini yang tidak mudah, hey ... Pak Dosen!

Saat bersamamu, dalam keadaan hening.

Sungguh, aku suka melihat Anda seperti itu. Terlihat ... seksi!

Manik mata yang menatap tajam, dengan bibir yang merapat sempurna. Ah, bibir itu. Isi otakku mulai berubah nakal. Seandainya saja ....

What? Aku tersentak.

Tidak, Alena! Jangan berlebihan. Jangan terlalu jauh membawa perasaanmu.

Jaga image kamu di depan dia. Jaga!

"Ini salah, Alena!"

"Serius?" Aku memberi eksperi kaget.

"Berpikir sedikit, Alena. Berpikir!" Dia menunjuk pelipisku dengan balpoin.

DOSENKU TENGIL (END @Webnovel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang