02

42 8 2
                                    

15 Agustus 2015

Hari demi hari aku lewati di kelas ini. Sekarang, aku tidak lagi duduk dengan Ekky. Tapi dengan Ali yang jauh lebih menyebalkan daripada Ekky. Tapi tak apa lah, biarkan saja.

Saat ini kelas berisik sekali. Jam kosong, sementara  Yofi tidak ada di kelas. Dia sedang berkumpul dengan ketua kelas lain untuk mendengarkan pengumuman terkait acara 17 Agustus minggu depan.

Aku lebih memilih tidur daripada harus memberi sesorah agar teman-teman diam yang pastinya tidak akan di dengarkan.

"Nafiiissss, dipanggil Yofi!" aku kaget, dan kemudian langsung menuju pintu kelas dimana Yofi sedang berdiri disana.

"Fis, ayo ikut aku! Jangan lupa bawa buku tulis dan pulpen!" aku menurut saja dan kemudian berjalan bersamanya menuju lobi.

"Ngapain sih, Yof?" tanyaku padanya.

"Pengumuman acara lomba memperingati HUT RI." jawabnya.

"Tumben banget harus sama aku? Biasanya kan kamu sendiri." kataku.

"Aku juga gatau." seperti biasanya. Ia berbicara dengan nada datar yang selalu saja membuatku lebih memilih untuk diam.

Aku menoleh kanan kiri, dimana ketua kelas juga beriringan dengan wakilnya. Mereka berlarian seperti mengejar waktu. Lucu sekali.

"Ayo cepetan, Fis!" aku tersentak ketika pergelangan tangan kiri ku digenggam oleh Yofi.

Aku termangu sejenak. Mau tahu sesuatu? Jantungku berdetak cepat sekali. Aku tidak tahu kenapa.

Kemudian kita berlari di koridor kelas 9 dengan posisi ia menarik tangan kiri ku dengan tangan kanannya. Sementara tangan kananku memegang buku tulis dan pulpen.

Ia menoleh sebentar ke arahku. Seperti biasa, tanpa ekspresi. Kemudian menghadap ke depan lagi untuk memerhatikan jalan.

Ujung bibirku tertarik ke atas. Aku tersenyum entah untuk apa. Aku tidak peduli lagi akan jalan yang ku lewati. Aku terus saja mengikuti Yofi berlari. Aku jadi membayangkan, andai saja ini film layar lebar, pasti saat ini adalah adegan slow motion yang selalu saja sukses membuat penontonnya terbawa perasaan.

Lamunan itu pecah ketika kita sampai di lobi. Seorang guru olahraga berkaca mata memerintahkan kita untuk duduk di lobi. Sementara ia memberikan pengumuman.

Aku duduk bersama Yofi. Aku menyender tembok, sementara ia di depanku. Aku menjadikan punggungnya sebagai meja untuk menulis. Ia menyuruhku menulis, dan aku mengiyakan saja sebab aku tahu bahwa tulisannya jelek.

Ia mendengarkan pengumuman dengan seksama, kemudian menyuruhku menulis apa yang sudah di dengar nya. Padahal aku juga mendengarkan.

Setelah selesai, ia memperhatikan tulisanku dengan serius. Aku menatap nya dari samping. Hidung mancung nya tampak jelas di mataku.

"Fis, ini kok 10 putra dan 10 putri? Bukannya lomba gerak jalan itu diikuti 10 putra dan putri dari tiap kelasnya? Jadi seharusnya kan 5 putra dan 5 putri." ia menoleh dan bertanya padaku.

"Bukan lah." sahutku.

"Iya lah", bantahnya.

"Coba tanya sana", suruhku padanya.

Ia pun bertanya, tapi tidak pada guru di depan. Melainkan pada ketua kelas lain.

"Gimana?" tanyaku mengejek.

"Iya, bener kamu", sahutnya datar.

Aku terkekeh ringan melihat ekspresi wajahnya. Lucu sekali. Kemudian kita pun bangkit dan berjalan beriringan kembali ke kelas.

Di sepanjang koridor, ia memperhatikan tulisanku. Sesekali ia bertanya tentang hal yang belum jelas padaku. Aku pun dengan senang hati menjelaskannya.

"Fis, nanti yang ikut lomba makan kerupuk Bowo aja. Dia kan suka makan", katanya sembari tertawa.

"Haha iya deh. Asalkan dia mau", sahutku seadanya. Jujur, aku merasa senang sekaligus canggung saat bersamanya.

"Pasti mau, kan dapat kerupuk gratis", ia pun tertawa semakin keras.

"Kalau kamu ikut lomba ini aja, Fis!" katanya sembari menunjuk tulisanku.

"Memasukkan paku dalam botol? Ogah", tolak ku.

"Kenapa? Aku penasaran ke ekspresi kamu nanti. Pasti lucu banget." ia tertawa mengejekku.

Aku sedikit kesal, maka aku pun berjalan lebih cepat dan meninggalkannya.

"Fis, tungguin! Dasar pemarah!" dia mengumpatiku. Namun aku berjalan saja terus.

Aku mendengar langkah kakinya semakin cepat. Sepertinya ia berlari.

Aku sangat terkejut ketika ia meraih bahuku. Aku menoleh ke arahnya dan mendapatkan ia sudah berdiri di sebelahku.

"Barengan aja ke kelasnya. Nanti kita sampein pengumumannya bareng-bareng." katanya sembari tersenyum.

Senyumnya manis. Tahi lalat kecil di atas ujung kanan bibirnya menjadi favoritku entah sejak kapan. Yang jelas, jantungku berdetak lebih cepat ketika ia tersenyum. Tinggi kami tidak jauh beda. Namun sudah berhasil membuatku mendongak ketika berbicara dengannya.

Aku mengangguk kecil dan segera mencoba untuk menetralkan detak jantungku. Sepertinya, bertatapan dengannya di jarak yang sangat dekat dan waktu yang lumayan lama sangatlah tidak baik untuk kesehatan jantungku.

***

Ttd,
N.

Love You, Goodbye.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang