10

19 4 0
                                    

05 April 2016

Hari ini aku datang ke sekolah seperti biasanya. Aku berusaha bersikap wajar seperti biasanya. Walaupun beberapa orang menyadari dan bertanya tentang mataku yang bisa dikatakan bengkak.

Aku hanya mengatakan, bahwa aku kurang tidur. Bahkan terhadap keempat orang sahabatku itu pun, aku tidak mengatakan yang sebenarnya.

Tidak terjadi kontak sama sekali antara aku dan Yofi sejak pagi hingga saat ini. Ia bersikap seperti tidak terjadi sesuatu.

Saat istirahat pertama, aku meminjam cermin pada salah satu temanku untuk membetulkan jilbab ku yang tidak rapi. Ini bukan pengalaman pertamaku menggunakan jilbab segi empat, akan tetapi aku masih belum bisa menggunakan nya dengan rapi. Aku cenderung lebih memilih menggunakan jilbab instan.

Yofi datang menghampiri Bowo, Bayu dan juga Dani yang duduk di meja di depanku. Mereka berkelakar juga mengusili temanku, Rina. Seperti biasanya, aku langsung menimpali pembicaraan mereka.

Aku menyahut setelah Yofi berbicara. Aku benar-benar lupa apa yang telah terjadi semalam. Dan Yofi benar-benar masih emosi terhadapku.

"Bacot. Bisa nggak sih, gak usah ikut campur urusan orang? Dasar anjing!" bentaknya terhadapku.

Ya Allah, sebenarnya dia kenapa? Aku benar-benar tidak mengerti apa yang dia bicarakan. Dia mengumpat dan berkata kasar terhadapku.

"Santai aja dong, ngomongnya. Kamu lagi ngomong sama manusia, jadi gak usah bawa-bawa nama hewan", sahutku tak kalah emosi. Mataku benar-benar menjadi panas.

Sudah cukup aku menahan emosiku semuanya semalam, aku akan menumpahkan semuanya terhadap Yofi. Aku tidak ingin ada orang lain yang tersakiti karena perkataanku.

"Goblok!!! Bangsat!" bentak nya lagi.

Setegar apapun hati perempuan, mereka tidak akan pernah bisa dibentak. Pasti akan ada air mata yang lolos dari pelupuknya meski hanya setetes.

Aku menangis. Tanpa terisak. Air mataku mengalir begitu saja. Ayu, yang kebetulan ada di sebelahku membantu membelaku.

"Kamu kenapa, Yof? Gak biasanya kasar-", belum selesai Ayu berbicara, Yofi sudah memotongnya.

"Kamu juga gak usah ikut campur. Bacot!" umpatnya terhadap Ayu.

Aku berusaha menengahi mereka. Aku berdiri di depan Ayu, menghadap Yofi yang sepertinya sedang kalap.

Belum sempat aku berbicara, Yofi sudah mendahului.

"Mau bilang apalagi? Belum cukup yang tadi malem?" tanyanya.

"Maksud kamu apa sih? Yang tadi malem kan udah selesai. Gak usah diungkit lagi!" ucapku.

"Selesai? Halahh, tapi kamu masih suka ke aku kan? Daritadi ngikutin aku. Anjing!" umpatnya lagi.

"Terserah kamu mau ngomong apa. Tapi tolong, gak usah bawa nama hewan", bentakku padanya.

"Cih, aku udah bilang, jangan suka ke aku! Aku nggak suka ke kamu", katanya lagi. Persis seperti yang tadi malam.

"Aku juga udah bilang, terserah aku dong mau suka atau nggak. Kamu gak punya hak buat nyuruh aku ini dan itu. Lagipula, aku juga udah bilang kalau aku ngalah. Asal kita jadi teman lagi", ucapku dengan penuh emosi.

"Bacot. Bangsat. Dasar goblok! Udahlah. Awas aja. Jangan sampe aku ngeliat kamu nangis gara-gara aku", ucapnya dan ia segera berlalu.

Tidak ada satu pun teman-teman yang berani menghentikan pertengkaran kami berdua. Mereka menjadi penonton saja. Aku lebih memilih diam. Karena melawan Yofi adalah hal yang percuma.

Ibarat menggenggam angin. Sia-sia.

"Aku udah peringatkan kamu!" hanya satu kalimat yang ia katakan saat di pintu kelas, kemudian ia melanjutkan langkahnya keluar.

Ayu langsung meraihku. Dia memelukku erat. Sangat erat dan membawaku ke belakang kelas. Teman-teman yang lain berusaha tidak peduli dan memilih untuk meninggalkan kelas. Hanya ada aku dan keempat temanku di kelas ini.

"Kenapa sih, Fis?" tanya Bela pertama kali.

Aku masih tidak bisa menjawab. Aku masih saja menangis sesenggukan di pelukan Ayu.

Setelah agak tenang, aku mulai bercerita pada mereka. Dari perasaanku, hingga ke kejadian tadi malam.

"Tapi Yofi udah keterlaluan banget. Dia terlalu kasar sama perempuan", komentar Bela yang juga emosi.

"Aku gak tau apa alasan dia bilang kaya gitu. Lagian apa salahnya kalau Nafis suka?" kini Dita ikut menimpali.

"Itu yang aku gak tau", ucapku sambil terisak.

Putri hanya mendengarkan cerita ku dan Bela yang menggerutu sambil meminum susu Stroberinya. Sementara Dita, berusaha membuat Bela lebih terkontrol emosinya. Dan Ayu, masih menenangkan ku.

Aku berusaha tersenyum. Aku tidak ingin membuat mereka juga mempunyai masalah dengan Yofi.

"Sudah lah. Aku gak papa. Biarin aja dia. Nanti dia pasti bakal ngerti juga kok", kataku masih dengan terisak.

Bela ingin menyambung, tapi segera diisyaratkan oleh Ayu agar lebih baik diam. Dan dia pun menurut.

***

Sekarang, keempat temanku selalu saja berusaha menghiburku. Tapi yang aku tidak suka, mereka selalu saja meledekku.

"Fis, kaya nya akhir-akhir ini kamu deket sama anak 7B ya?" goda Putri.

"Hah, siapa?" tanyaku.

"Itu, si anak hitz. Roy", sahut Dita.

"Hah?" aku tersentak kaget sampai tersedak.

Mereka kembali memicingkan matanya dan menggodaku.

"Bukannya sekarang aku dekat sama kalian?" elakku. Mereka hanya mencibir.

"Kemarin ya, pas aku nganterin Nafis ke mbak Putri nya, kita papasan sama Roy. Terus dia nyapa Nafis", kali ini Ayu memperkeruh suasana membuatku jengkel.

Tapi memang iya sih. Kemarin anak yang bernama Roy itu menyapaku. Tapi kita tidak dekat, hanya sebatas kenal.

Aku baru mengenalnya pada saat LDK. Tapi aku tidak pernah mengobrol akrab dengannya. Bahkan baru akhir-akhir ini, ia menyapaku ketika kita bertemu.

Tapi teman-teman tidak mudah percaya padaku. Aku pun menjadi bulan-bulanan setiap harinya. Sehingga, tujuan teman-teman untuk menghiburku agar bisa melupakan perasaanku terhadap Yofi gagal sama sekali. Bukannya aku bahagia, tapi malah sangat jengkel.

Aku sangat tidak tertarik terhadap apa yang mereka bicarakan. Menurutku, Yofi lebih menarik untuk di pandangi.

Ohh, seharusnya tidak lagi.

***

Ttd,
N.

Love You, Goodbye.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang