05

43 6 2
                                    

Tak terasa, sudah satu semester aku bersekolah disini, SMPN 7 Jember. Ini awal semester 2. Aku masih ingat ketika semester 1 kemarin, bu Anis, selaku guru matematika memberikan sesorah menjelang UAS.

"Minggu depan kalian sudah UAS. Khusus matematika, bagi yang mendapatkan nilai asli diatas 80, akan saya beri hadiah." tuturnya.

Dan hari ini, aku mendapat hadiah yang telah dijanjikan oleh bu Anis. Bersama dengan Yofi, tentu saja. Seperti biasanya. Walaupun nilaiku masih lebih tinggi daripada nilainya.

Semenjak putus dengan Dhea, aku tidak mendengar lagi kabar kedekatan Yofi dengan perempuan mana pun. Yofi kelihatan biasa saja, sedangkan Dhea sudah mempunyai pacar lagi. Tapi aku yakin, Yofi bukan playboy.

Aku pun tidak pernah menyinggung lagi tentang hal itu. Semuanya berjalan seperti biasanya.

"Nafis, kamu dipanggil bu Wahyu." kata seorang temanku.

Aku pun segera menuju ke meja bu Wahyu, di perpustakaan. Saat sampai disana, Yofi barus saja keluar dari sana.

Dia hanya tersenyum dan menyapaku singkat, lalu mengisyaratkan agar aku segera masuk. Aku pun mengangguk kecil dan membalas senyumannya.

"Loh, Nafis kenapa datengnya gak bareng sama Yofi?" tanya bu Wahyu ketika aku duduk di kursi di depan mejanya.

"Saya baru diberi tahu, bu." sahutku. Lalu bu Wahyu menjelaskan tujuannya memanggilku dan Yofi.

Minggu depan akan dilaksanakan LDK bagi seluruh pengurus dan anggota OSIS. Ditambah perwakilan kelas sehingga semuanya berjumlah 100 orang.

Aku dan Yofi dimintai pendapat mengenai perwakilan dari kelas kami. Untuk putra, sudah ada Aldi. Sedangkan untuk putri, bu Wahyu bingung untuk menentukan.

Namun, meminta pendapatku dan Yofi sepertinya akan membuatnya bingung. Kami memiliki pendapat yang berbeda. Yofi lebih setuju jika Diva yang ikut, sedangkan aku lebih memilih Ayu. Keputusan akhir, Diva lah yang akan ikut. Aku pun tidak keberatan.

***

23 Januari 2015

Ini adalah hari yang paling tidak ku sukai. Dan parahnya, akan berlangsung hingga besok. Latihan Dasar Kepemimpinan ini, dilatih langsung oleh beberapa tentara.

Sangat menjengkelkan. Kita dilatih seperti tentara. Ayolah, kita masih anak-anak, bukan? Bahkan Diva mendapatkan hukuman untuk berjalan jongkok.

Terlebih lagi, Yofi ditempeleng karena menurut tentara itu, dia tidak melakukan tepuk pramuka dengan serius.

Aku dan Diva yang berdiri di belakang berjuang keras menahan tawa. Kita tidak ingin mendapat hukuman seperti yang lain.

Keesokan harinya, setelah melakukan rafting, kita dibiarkan duduk di bahu jalan di dekat jembatan tempat rafting dilaksanakan.

Lelah sekali. Aku hampir saja mendapat hukuman, tapi untung saja masih ada tentara yang prihatin melihat wajahku yang pucat. Oh, i love you, pak! Wkwk.

Aku duduk bersebalahan dengan Yofi. Aku bertanya tentang keadaannya.

"Yof, pipimu sakit nggak?" tanyaku sambil tertawa mengejek.

"Biasa aja sih," katanya dengan nada kelewat santai. Aku tidak percaya ini.

"Alasan," cibirku padanya.

"Serius, Fis. Itu gak sakit. Lagian aku udah biasa. Ayahku juga tentara." ucapnya.

"Oh, iya", sahutku dan dia mengangguk kecil.

***

LDK sudah berakhir. Aku senang sekali. Aku masih saja sering mengejek Yofi ketika ingat momen saat dia ditampar. Tapi ia pun membalas ku. Ia mengingatkanku  akan wajah piasku ketika nyaris saja mengalami gegar otak ketika gagal saat melakukan rafting.

Ternyata Yofi nakal sekali. Dia ketua kelas, tapi dia pun menjadi ketua main sepak bola di kelas. Dia memang ikut tim sepak bola sekolah, tapi kan tidak pantas jika harus bermain di kelas.

Pernah sekali aku menyembunyikan bola plastiknya. Semua yang bermain bola saat itu memohon padaku agar bolanya di kembalikan. Wajah mereka lucu sekali. Bahkan anak ternakal pun tidak berani mengambilnya dariku.

Kemudian, Yofi sendiri yang datang padaku.

"Fis, mana bolanya?" ia menghampiriku namun tak ku hiraukan.

"Fis, ayolah!" dia terus berusaha membujuk ku.

"Kamu itu ketua kelas, Yof. Seharusnya kamu ngasi contoh yang baik," kataku yang masih duduk di depan pintu kelas bersama teman-teman ku yang lain. Sementara Yofi berdiri menghadapku.

Dia meminta maaf padaku dan mengaku bersalah. Aku tidak percaya begitu saja padanya.

"Bolanya aku kembalikan. Tapi kamu janji ya, harus cegah teman-teman yang mau main sepak bola di kelas", kataku akhirnya.

"Iya, aku janji." ucapnya.

Ia masih berdiri, namun sedikit menunduk. Dia memberikan jari kelingking kanannya tepat di depan wajahku yang sedang mendongak.

Dia menatapku serius, dan aku pun segera menakutkan jari kelingking ku di jarinya. Ia tersenyum, aku pun tersenyum. Lagi-lagi, jantungku berpacu sangat cepat seperti sedang lari marathon. Haha, lebay sekali bukan?

"Nah, ini", kataku dan memberikan bola plastik itu padanya. Ia pun segera berlalu pergi.

Ketika aku mengambil nafas dalam-dalam untuk menormalkan detak jantungku, keempat sahabatku menatapku penuh curiga. Aku menjadi heran.

"Hayo, ada apa antara kamu dan Yofi?" Bela bertanya dengan suara yang tidak bisa dikatakan pelan. Aku segera saja menutup mulutnya dengan tanganku.

"Apaan sih, Bel?" sahutku sebisa mungkin dengan nada yang jutek.

"Kamu ada perasaan ke Yofi, ya?" kini Ayu yang berbicara dengan nada berbisik.

"Nggak ih, mana ada." kini suaraku yang tidak terkontrol.

"Nah, hayoo, ketahuan!!!" Putri ikut menimpali. Aku diam saja tidak menghiraukan. Agar obrolan ini tidak merambat kemana-mana.

"Biarin aja, nanti dia bakal ngaku sendiri", Dita berkata dengan santai nya, yang disambung ledekan dari teman-teman yang lain.

***

Ttd,
N.

Love You, Goodbye.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang