“Pak Aga......” Beberapa anak kecil menghambur ke dalam pelukan Kak Aga, mereka terlihat ceria. Aku mematung takjub. Bocah-bocah kecil itu terlihat bahagia sekali dengan kehadiran Kak Aga.
“Raisa kira Pak Aga gak ikut piknik, kan Raisa udah sedih.” Seorang gadis kecil yang terbalut jilbab mungil tersenyum lebar ke arah Kak Aga. Kak Aga terkekeh ringan, kemudian mengusap kepala anak itu sayang.
“Pak Aga nungguin dua kakak cantik ini dulu, makanya terlambat. Pak Aga dimaafkan?” Kak Aga memasang ekspresi memohon yang terlihat lucu usai menunjukku dan Bulan, aku dan Bulan terkekeh melihatnya.
“Dimaafkannn.....” Para bocah mungil itu serentak berteriak, dan lagi-lagi memeluk Kak Aga. Kak Aga sibuk membalas pelukan anak-anak tanpa dosa itu, mengabaikan aku dan Bulan yang tengah tersenyum menikmati pemandangan di hadapan kami.
“Kakak cantik, namanya siapa?” Aku mengerjapkan mata ketika seorang lelaki kecil menghampiriku dan Bulan, matanya mengerjab lucu menatap kami.
“Kakak Rain, yang ini Kak Bulan. Adek ganteng siapa namanya?” Aku menyejajarkan tubuh ke arah bocah tampan itu, mengusap kepalanya.
“Rahman, Kak.” Dia tersenyum lebar, memamerkan beberapa gigi depannya yang tanggal. Aku dan Bulan serentak tertawa.
“Rahman kelas berapa?” Aku masih menunduk menyejajarkan tubuh, kali ini Bulan mengikuti gerakanku.
“Kelas dua, sudah besar kan? Sudah punya adik satu di rumah.” Lelaki kecil itu semangat menjawab.
“Wah, iya. Mas Rahman jadinya. Sudah besar adiknya yang di rumah?” Kali ini aku duduk, mengajak salah satu murid Kak Aga itu untuk ikut mengambil tempat di sebelahku.
“Baru keluar dari perut Mama kemarin, tadi pagi di bawa pulang ke rumah. Adiknya cantik.” Oh, dia kakak baru rupanya.
“Mas Rahman suka punya adik?” Aku tersenyum menatapnya.
“Suka, suka sekali.” Dia bersorak riang.
Mendengar sorakannya, beberapa bocah ikut mendekat. Bocah-bocah itu mengambil posisi mengelilingiku. Aku senang menatap mereka, wajah-wajah polos tanpa dosa.“Kakak siapanya Pak Aga?” Seorang gadis cantik menatapku dan Bulan secara bergantian.
“Kami adiknya Pak Aga.” Bulan membuka suara dengan senyuman. Semoga efek datang bulan pertamanya telah hilang, minimal berkurang.
Kak Aga terlihat mendekat, menghampiri kami.
“Gak ada yang mau main air? Airnya seger loh.” Pertanyaan Kak Aga kontan membuat seluruh bocah yang mengelilingiku berhamburan, mereka serentak berlari bahagia menuju sumber air.
Oh ya, kami sedang berada di sebuah air terjun, mengawani siswa-siswa dari sekolah tempat Kak Aga mengajar yang sedang mengadakan refreshing usai ujian akhir. Aku menyukai seluruh pemandangan alam, sungai, gunung, air terjun, bukit dan seluruhnya. Hanya saja di sini, aku seperti menemukan sesuatu yang berbeda. Kak Aga dan siswa-siswa menciptakan atmosfer yang berbeda. Keriangan bocah-bocah itu, pancaran sayang dari mata mereka untuk Kak Aga, dan sejuknya suasana air terjun menjadi kolaborasi yang sempurna membuat aku nyaman. Aku bahagia.
“Gak mau ikut main air juga?” Suara Kak Aga membuyarkan tatapan syahduku menatap anak-anak yang sedang bermain air.
“Bulan gak mau, Ning Rain juga gak boleh ikutan main air. Ning Rain harus nemenin Bulan duduk disini.” Bulan menjawab cepat, wajahnya kembali cemberut. Mungkin perutnya masih tak nyaman.
“Iya, Ning Rain di sini. Lagian Ning kan juga gak bawa baju ganti. Kak Aga sih ditanyain mau ngajak kemana gak ngomong.” Aku menatap Kak Aga sejenak, kemudian memutar mata jengah.
![](https://img.wattpad.com/cover/136445863-288-k217418.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dewa Hujan Di atas Telaga (Sudah Terbit)
ДуховныеNamaku Raina Putri Bening. Raina karena Bunda suka hujan, Putri karena aku perempuan, dan Bening agar hatiku bening atau jernih seperti air. Jadilah aku seorang gadis pecinta hujan yang memiliki hati bening. Lelaki itu Dewa Faishal Abdillah. Dia pu...