Mendung Lalu Hujan

1.6K 273 20
                                    

Aku menarik napas dalam sembari melirik jam tangan. Pukul 10:10 wib. Terlambat 10 menit dari janji temu. Namun, aku merasa ini bukan janji. Karena sejak Gus Dewa mengirim pesan ajakan bertemu, aku memang tak mengiyakan. Awalnya, aku tak ingin memenuhi ajakan ini. Namun, aku merasa jika beberapa hal antara aku dan Gus Dewa memang harus dituntaskan. Akhirnya, di sinilah aku sekarang. Berdiri ragu di depan pintu Libreria sembari berpikir apakah aku harus benar-benar masuk, atau putar balik ke pesantren lagi.

“Mbak, ada yang bisa dibantu?” Aku menoleh, seorang pegawai kafe tersenyum menatapku. Mungkin, ia merasa bingung karena aku hanya berdiri di depan pintu.

“Eh, gak ada, Mbak. Saya lagi mau ketemuan sama teman di sini. Ini lagi ngecek dia duduk di mana.” Aku tersenyum canggung, mencari-cari alasan.

“Oh ya sudah, kalo butuh bantuan bisa bilang saya, Mbak.” Pegawai wanita itu tersenyum dan segera berlalu begitu aku mengangguk dan membalas senyumnya.

‘Bismillah,’ aku menggumam basmalah lirih, kemudian melangkahkan kaki ke dalam kafe. Aku melihat Gus Dewa duduk di bangku pojok, dekat dengan jendela. Ia tengah memainkan ponsel dalam tunduk.

“Assalamualaikum.” Aku mengucapkan salam lirih.

“Waalaikumsalam. Bening? Alhamdulillah kamu mau dateng. Aku kira kamu gak bakal dateng.” Gus Dewa menatapku dengan ekspresi semringah. Ia segera berdiri dan menarik kursi untuk kududuki.

“Terimakasih.” Aku tersenyum tipis dan ia mengangguk.

“Mau minum apa? Biar aku pesenin.” Gus Dewa hendak beranjak, namun aku segera menahannya.

“Eh, gak usah, Gus. Aku puasa.”

“Oh iya, sekarang hari kamis ya.” Aku mengangguk untuk menjawab pertanyaan Gus Dewa. Eh entahlah, entah itu sebuah pertanyaan atau pernyataan. Aku sedang tak minat untuk memikirkannya.

“Jadi, kenapa?” Dalam tunduk, kurasa Gus Dewa menatapku sejenak sebelum kemudian segera menatap ke arah lain.

“Kenapa apanya?” Aku mengulang kalimat tanyanya sembari mengernyitkan dahi.

“Kenapa kamu mengabaikan pesan dan panggilan-panggilan teleponku?” Tepat sasaran. Ya Allah, kenapa lelaki ini langsung saja ke pokok masalah? Kenapa tak lebih dulu berbasa-basi? Menanyakan kabarku, misalnya. Atau, ke mana saja aku liburan kemarin.

“Ada beberapa hal, Gus.” Aku masih menunduk.

“Kamu mulai merasa jika ada yang salah dengan kedekatan kita?” Gus Dewa menyesap kopinya. Aku tak menjawab pertanyaan, hanya mengangguk pelan.

“Bening, bagaimana jika aku ke Malang?” Aku seketika mendongak.

“Untuk apa?”

“Keluarga kamu ada masalah dengan menikah muda?” Gus Dewa justru menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan lagi.

“Ada apa sebenarnya?” Aku merasa suaraku terdengar gemetar. Jujur, aku takut dengan pertanyaan Gus Dewa.

“Aku juga paham jika kedekatan kita salah, Bening. Sudah saatnya ini semua diakhiri. Aku berniat baik, ingin ke Malang kemudian memintamu ke Buya Rasyid. Terlalu awalkah?” Lagi-lagi Gus Dewa menatapku sejenak, kemudian mengalihkan pandangan.

Aku ingin tersenyum dan menangis di waktu bersamaan. Gus Dewa memiliki rasa padaku, aku pun sama. Seharusnya pertanyaan Gus Dewa kujawab dengan gelengan kepala. Gus Dewa tak terlalu awal. Rasa kita sama, apa salahnya menghalalkan hubungan?

Namun, aku justru mengangguk. Iya, Gus Dewa terlalu cepat. Waktunya benar-benar tak tepat. Baru satu bulan yang lalu, Buya mewanti-wantiku agar tak lebih dulu bermain hati. Ada lelaki pilihan Buya yang telah menunggu. Apa yang akan terjadi jika tiba-tiba seorang lelaki tak dikenali datang ke Buya dan meminta putri sulungnya? Buya jelas menolak pinangan Gus Dewa. Namun, ada yang lebih membuatku takut. Ini bukan sekedar tentang penolakan Buya. Ini tentang perasaan Bunda. Bunda akan merasa bersalah seumur hidup jika melihatku menangis karena keputusan Buya. Masalahnya, sudah kupastikan aku akan menangis jika melihat langsung penolakan Buya. Jangankan melihat penolakan Buya, duduk di sini sekarang sembari mendengar pertanyaan Gus Dewa saja sudah membuatku ingin menangis.  

“Bening, aku terlalu awal?” Gus Dewa kembali bersuara.

“Maaf, Gus. Ini bukan perihal terlalu awal atau tepat waktu. Tapi, aku tetep gak bisa.” Aku semakin menundukkan kepala sembari meremas jemari. Tanganku bergetar hebat karena aku tengah menahan tangis.

“Lalu?” Gus Dewa terlihat bingung.

“Tradisi klasik keluarga kyai pada umumnya.” Aku menjawab lirih.

Hening beberapa saat. Gus Dewa tak bersuara, aku hanya mendengar helaan napas panjangnya.

“Putra kyai mana yang beruntung itu?” Aku tak sanggup lagi bersuara. Gelengan kepalaku lah yang menjawabnya.

“Jadi, aku harus mundur, Bening?” Gus Dewa kembali bersuara. Aku terdiam.

“Bagaimana dengan rasa kita? Rasaku tak sepihak, kan?” Aku masih diam. Namun, kali ini setetes air mengalir di pipiku.

“Bening...”

“Sejak awal kita sudah salah, Gus.” Aku mengusap air mata yang telanjur menetes.

“Seharusnya, kita tak perlu menjalin hubungan apapun. Kita hanya akan tersakiti untuk hal-hal yang tak pasti. Hubungan kita jelas saja bukanlah sesuatu yang pasti. Dan benar saja, sekarang kita tengah menyakiti diri kita sendiri, bukan?” Aku tersenyum miris dalam tunduk.

“Kita selalu punya banyak rencana. Sayangnya, kita hanya mampu berencana. Kuasa untuk merealitakan rencana-rencana kita tetap mutlak milik Allah. Ana uriid wa anta turiid. Lakin Allahu yaf’alu maa yuriid.” Aku mendongak sembari menampilkan senyum tegar. Air mataku masih meronta untuk keluar, namun aku harus menahannya. Aku tak boleh lemah karena perasaanku. Segala sesuatunya harus kutuntaskan hari ini.

“Aku ingin berjuang, Bening. Tapi, kata-kata kamu seolah menginginkan aku agar mundur saja.” Lagi-lagi, kudengar Gus Dewa menghela napas. Aku mengangguk, mengamini kalimatnya.

Iya, Gus Dewa benar! Aku memang tak secara langsung menyuruhnya untuk mundur. Namun, kalimat-kalimatku jelas telah mengungkapkan banyak hal. Lagipula, memangnya aku punya pilihan selain menyuruhnya mundur? Perjuangannya hanya akan membuat kami berdua sama-sama tersakiti. Ia hanya akan berjuang untuk sesuatu yang memang telah jelas tak akan dimilikinya, dan aku hanya akan menyaksikan perjuangannya dengan rasa bersalah yang menggunung. Kami akan menjadi dua orang yang menyayat hati kami sendiri.

“Apa tradisi itu benar-benar tak bisa dirubah, Bening?”

“Buya telanjur berjanji pada seseorang. Janji hutang kan, Gus? Jadi, Buya harus melunasinya.” Aku menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya. Gus Dewa terdiam, ia tak menyahuti ucapanku.

“Gus Dewa orang hebat. Mudah untuk mencari yang jauh lebih baik dari aku.” Aku mendongak sejenak, kembali tersenyum. Miris sekali rasanya.

“Ini bukan perihal mencari, Bening. Ini perihal melupakan. Apa kamu yakin kita bisa saling melupakan?” Gus Dewa mendongakkan kepala, menatap langit-langit kafe dengan raut frustrasi.

“Kita belum sejauh itu, Gus. Untuk saling melupakan, tidak sesulit yang dibayangkan selagi kita benar-benar memantapkan hati. Mungkin butuh waktu, tapi aku yakin gak akan lama.” Sejujurnya, aku tak yakin dengan ucapanku sendiri.

“Bening...”

“Kita tidak mungkin bisa jika tidak mau mencoba untuk memulai, Gus. Semua hal yang terlihat sulit sesungguhnya tidak benar-benar sulit ketika telah dijalani. Kita hanya butuh proses untuk meringankan hal-hal yang kita anggap berat.” Aku masih tak yakin dengan ucapanku sendiri.

“Semoga menjalaninya semudah apa yang kamu ucapkan, Bening.” Gus Dewa kembali menyesap kopinya sementara aku mengangguk.

“Aku rasa cukup ya, Gus. Aku pamit. Mari saling berusaha.” Aku kembali tersenyum singkat, kemudian berdiri.

“Assalamualaikum, Gus.” Aku mengucapkan salam sembari beranjak.

“Waalaikumsalam, Bening. Tolong tetap saling mendoakan.” Gus Dewa menjawab salamku tanpa mengangkat kepala. Ia masih menunduk.

“Insyaa Allah.”

Dan, itulah kalimat terakhirku sebelum benar-benar melangkahkan kaki.

‘Gus, aku pamit. Mari saling melepaskan dan mengikhlaskan. Aku paham segalanya tak akan mudah. Kita pernah merajut angan bersama. Membayangkan hari-hari akan datang yang isinya kita berdua. Namun, jika tak dimulai dari sekarang, kapan? Sudah waktunya untuk saling merelakan. Ah sudahlah, kita tak perlu terlalu meratap! Bukankah kita sama-sama paham? Segala sesuatu yang memang ditakdirkan termiliki, tak akan salah tujuan. Sekali lagi, mari saling mengikhlaskan. Sandarkan segalanya pada Allah Sang Pemberi Kebaikan. Dan rasakan, betapa hidup kita begitu ringan.’

Aku keluar kafe dengan langkah gontai. Hatiku sesak, air mataku ingin segera menetes rasanya. Aku butuh tempat tenang, atau minimal seseorang yang bisa menenangkan. Mendadak, sekelebat bayangan Kak Aga lewat di kepalaku. Aku rindu Kak Aga. Rindu kalimat-kalimat menenangkannya, rindu semangat-semangatnya yang memotivasiku, rindu menceritakan kisah-kisahku padanya. Lama sekali rasanya tak berkomunikasi dengan kakakku yang satu itu.

“Hujan...” Halusinasi apa ini? Mengapa ada suara Kak Aga? 

“Hujan, Hujannya Kak Aga, noleh coba.” Dan, entah sesuatu apa yang menarikku, kepalaku benar-benar menoleh ke arah sumber suara. Dan di sana, di sebuah kursi yang ada di teras kafe, Kak Aga tengah menatapku dengan ekspresi tak terbaca. Aku seketika menghampirinya.

“Ini beneran Kak Aga?” Aku masih berdiri, memastikan jika itu memang benar-benar Kak Agaku. Dan ketika lelaki di hadapanku itu mengangguk mantap, aku seketika terduduk sembari terisak. Air mataku mengalir deras tanpa bisa kubendung.

“Hujannya Kak Aga kenapa?” Aku tak mampu menjawab. Justru isakanku menghebat. Kak Aga masih sama seperti biasanya, selalu tepat waktu. Aku ingin bercerita banyak. Sayangnya, air mata menelan seluruh kata, menghentikannya di tenggorokan saja.

*****
Naya kok nyesek ngetiknya. Berasa Naya yang patah hati. Kalimat-kalimat sok tegarnya Rain bikin termehek-mehek, Ya Allah.

Jadi, masih ada yang nungguin kisahnya Ning Rain, kan? Semoga masih, amin.

Jangan lupa! Jadikan Allah sebaik-baik tempat bersandar 😘.

Dewa Hujan Di atas Telaga (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang