“Ning Rain, Bulan berangkat sekolah dulu, ya. Ini buburnya Bulan taruh sini, awas kalo gak dimakan.” Aku tersenyum dan mengangguk. Adikku yang dulu begitu menyebalkan itu telah menjelma remaja cantik yang penuh perhatian.
“Assalamualaikum.” Ia menutup pintu kamar usai salamnya kujawab. Gadis kelas tiga SMP itu meninggalkanku di dalam kamar bersama semangkuk bubur dan secangkir teh hangat.
Aku bangkit dari tidur dan ingin mengambil mangkuk bubur ketika pintu kamar kembali terbuka. Kali ini, Bunda masuk sembari tersenyum.
“Udah enakan? Udah bisa makan sendiri?” Bunda menghampiriku dan duduk di pinggir ranjang. Beliau meletakkan telapak tangan di keningku, memeriksa apakah suhu tubuhku masih setinggi tadi malam atau sudah turun.
“Alhamdulillah enakan, Bunda. Ini baru mau nyoba makan sendiri.” Aku menjawab pertanyaan Bunda sembari tersenyum.
Ini hari keempatku di rumah dan hari pertamaku bisa duduk bersandar di ranjang tanpa bantuan siapa pun. Tubuhku benar-benar lemah empat hari yang lalu. Kata dokter, aku menderita gejala tipus. Diagnosa dokter membuatku mengembuskan napas lega, setidaknya aku tidak sedang mengidap penyakit yang serius. Aku sempat was-was sebab selama berhari-hari pusing kepalaku tak kunjung sembuh, ditambah demam yang berkelanjutan. Beruntung, di hari keempat ini aku terbangun dengan keadaan yang jauh lebih baik. Aku terbebas dari ancaman opname di rumah sakit.
“Sini biar Bunda suapin aja, kamu masih pucet gitu. Lihat tuh, tangannya juga masih gemeteran.” Bunda mengambil mangkuk bubur, kemudian menyuapiku. Lagi-lagi, hari ini aku belum bisa makan sendiri.
“Kamu serius udah enakan, Rain? Kalo belum biar Bunda minta Buya buat anterin ke rumah sakit.” Bunda menatapku dengan ekspresi khawatir.
“Serius, Bundaku sayang. Kening Rain juga udah gak sepanas kemarin, kan?” Aku menggeleng, menolak usulan Bunda untuk membawaku ke rumah sakit. Aku sungguh tak menyukai tempat itu. Eh, memangnya ada yang menyukai rumah sakit? Kupikir tak ada.
“Kemarin pagi juga gitu, nyatanya pas sore sampek malem panasnya tinggi lagi,” sahut Bunda.
“Ya jangan didoain gitu dong, Bun. Ini nyatanya Rain udah bisa bangun dari tidur tanpa bantuan siapa pun loh. Kemarin-kemarin kan kalo mau ngapa-ngapain harus ada yang bantu bangunin.” Aku mengerucutkan bibir sementara Bunda terkekeh.
“Iya iya, Bunda kan gak doain, Rain. Bunda cuma antisipasi.” Bunda kembali menyuapkan sesendok bubur ke mulutku.
“Kamu udah lama loh gak sakit yang sampek bener-bener drop gini. Kenapa sih? Kecapekan? Banyak pikiran?” Bunda meletakkan mangkuk bubur dan mengambil cangkir teh, kemudian memberikannya padaku.
“Kecapekan aja, Bun. Kemarin di nikahannya Gus Dewa kan bantu-bantu banyak.” Aku menyesap pelan teh hangat, kemudian memberikannya pada Bunda untuk diletakkan kembali ke meja.
“Hust, gak boleh gitu. Bantuin Bu Nyai itu harus ikhlas,” tegur Bunda.
“Rain ikhlas, Bunda. Kan, tadi Bunda yang tanya, gimana sih.” Aku menatap Bunda dengan ekspresi kesal.
“Iya deh Bunda yang salah. Lagian kamu aneh, yang nikahan Gus Dewa sama Ning Bida, kok kamu yang capek. Padahal cuma jadi pengiring pengantin.” Bunda menggeleng-gelengkan kepala, merasa alasanku tak masuk akal.
‘Rain kan capek hati, Bun,’ sahutku di dalam hati. Aku memilih untuk mengendikkan bahu tanpa menjawab ucapan Bunda.
“Udah ya, Bunda mau ngontrol pelatihan menjahit.” Bunda bangkit dari duduk, kemudian membersihkan bekas makanku.
“Eh, biar Rain aja yang bersihin, Bun. Sekalian Rain pengen jalan-jalan ke luar. Bosen empat hari di kamar terus.” Aku menghentikan gerakan Bunda yang tengah meletakkan mangkuk di atas nampan, beliau menatapku dengan ekspresi ragu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dewa Hujan Di atas Telaga (Sudah Terbit)
EspiritualNamaku Raina Putri Bening. Raina karena Bunda suka hujan, Putri karena aku perempuan, dan Bening agar hatiku bening atau jernih seperti air. Jadilah aku seorang gadis pecinta hujan yang memiliki hati bening. Lelaki itu Dewa Faishal Abdillah. Dia pu...