Aku sedang mencari kitab Riyadhus Sholihin di rak ketika Mbak Ziya menyuruh para santri untuk segera berangkat sekolah malam. Mbak Ziya memang diserahi tugas oleh pihak pesantren untuk memastikan seluruh santri mengikuti kegiatan pesantren dengan baik. Dan malam ini, jadwal sekolah malamku adalah mengkaji kitab Riyadhus Sholihin. Masalahnya, kitab hadits karangan Imam Nawawi itu mendadak tak ada di rak kitabku, membuat aku kelimpungan karena Mbak Ziya telah menggedor pintu kamar berkali-kali.
"Bening, ayo buruan. Mbak Ziya hampir matahin pintu kamar itu." Fina menatapku resah. Mbak Ziya memang baik dan lemah lembut, namun jika telah berkaitan dengan peraturan pesantren, maka ia adalah pengurus paling tegas yang para santri kenali.
"Aduh Fina, kitab Riyadhusku gak ada. Aku lupa terakhir kali aku taruh mana." Aku mengobrak-abrik rak buku, kalut mencari kitab tebal itu.
"Bening, Fina. Kenapa belum berangkat? Dua puluh menit lagi bel sekolah malam berbunyi." Mbak Ziya yang tak sabar menggedor pintu memasuki kamar, menatap tajam aku dan Fina.
Bel sekolah malam memang masih akan berbunyi dua puluh menit lagi, tapi tempat sekolah malam kami berada di lingkungan asrama pesantren putra. Dan untuk menuju ke sana, dibutuhkan waktu sekitar lima menit. Belum lagi kami diwajibkan untuk bebersih kelas sebelum ustad pengajar hadir.
"Kitabnya Bening gak ada, Mbak. Dia lupa naruh." Fina menyahut, aku masih saja sibuk mencari kitab kuningku. Kali ini lemari pakaian menjadi sasaranku.
"Fina berangkat dulu aja. Bening biar belakangan." Mbak Ziya memberi titah. Fina memandangku resah, aku menggeleng pelan, memberi isyarat agar ia tidak meninggalkanku. Oh ayolah, aku tak mungkin berani berjalan sendirian di asrama putra. Banyak lelaki kurang kerjaan yang suka menggoda santri putri di sana.
"Duluan gakpapa, Fina. Kamu berangkat sama yang lain. Bening nanti berangkat sama aku." Aku menghembuskan nafas lega, Mbak Ziya memang baik hati. Aku mengangguk dan membiarkan Fina berangkat lebih dulu.
Aku paham maksud Mbak Ziya, tak baik membuat Fina terlambat atas kesalahanku. Oh ya, untuk sekolah malam, aku memang hanya bergabung dengan Fina. Ima, Laila dan Mita beda tingkatan, mereka masih berada di tingkat ula. Tingkat ula diperuntukkan bagi mereka yang belum pernah mengenal tentang kitab kuning sama sekali. Aku dan Fina yang pernah menuntut ilmu di pesantren telah berada di tingkat wustho, tingkatan kedua setelah tingkat ula. Sementara para mbak-mbak yang telah lama berada di pesantren menempuh sekolah malam tingkat ulya, tingkatan tertinggi menuju wisuda pesantren. Mbak Ziya dan kawan-kawan sejawatnya telah berada dalam tingkatan itu.
"Terakhir kali ditaruh mana, Bening?" Mbak Ziya mengedarkan pandangan, ikut mencari letak kitab kuningku.
"Lupa, Mbak. Maaf." Aku nyengir. Sungguh, aku benar-benar lupa.
"Ini kitab Riyadhusnya siapa?" Mbak Ziya mengangkat sebuah kitab bersampul mika putih bening dari atas bantal.
"Ya Allah, aku lupa, Mbak. Tadi emang habis aku baca." Aku menepuk dahi. Bisa-bisanya aku memiliki penyakit pelupa separah ini. Kitab itu berada di atas bantal, ada di ranjangku. Dan sejak tadi aku justru sibuk mengobrak-abrik rak buku.
"Ya udah, ayo berangkat. Waktunya tinggal sepuluh menit." Mbak Ziya bergegas keluar. Aku segera menyusul setelah mengunci pintu kamar.
Kami berjalan melewati asrama santri putra yang telah sedikit sepi. Sepuluh menit sebelum bel berbunyi, seluruh santri memang telah diwajibkan untuk berada di dalam kelas.
"Mas-mas yang dulu daftarin ke pesantren, bukan kakak kandung kamu ya?"
"Eh?" Aku reflek mengernyitkan dahi. Mengapa mendadak Mbak Ziya membahas Kak Aga? Kami memang tidak pernah mengobrol usai pendaftaran dua bulan lalu, paling hanya saling melempar senyum jika sedang berpapasan. Mbak Ziya pengurus pesantren, sedang aku santri biasa. Tak ada urusan apapun yang bisa membuat aku dan Mbak Ziya menjadi dekat.
"Waktu pamitan, kamu gak cium tangan mas itu. Kalian bukan mahrom?" Aku terhenyak, bagaimana mungkin Mbak Ziya mengingat hal seremeh itu?
Santri baru tahun ini bukan hanya aku, mana mungkin Mbak Ziya mengingat detail setiap tingkah para pendaftar?
"Bukan, Mbak. Itu Kakak sodara." Aku tersenyum menatap Mbak Ziya.
"Harusnya gak boleh kalo yang jadi wali santri bukan kakak kandung." Mbak Ziya menatapku, ia tersenyum.
"Eh, beneran, Mbak? Aduh, maaf ya, aku gak tau." Aku reflek memegang lengan Mbak Ziya.
"Masnya udah nikah?" Mbak Ziya masih menatapku dengan senyumnya. Aku menggeleng.
"Apalagi belum nikah, takut jadi fitnah, Bening."
"Maaf ya, Mbak." Aku menatap Mbak Ziya canggung. Sungguh, aku tak tau peraturan itu.
"Kalo sampek akhir nyantri kamu masih mau jadiin masnya wali santri, masnya suruh buruan nikah. Jadi, menghindari fitnah." Mbak Ziya mengusap tanganku yang memegang lengannya.
"Gimana kalo nikah ama Mbak Ziya aja? Cocok kayaknya." Pipi Mbak Ziya terlihat memerah seketika. Aku tau Mbak Ziya pernah terpesona menatap Kak Aga. Jadi, apa salahnya sedikit menggoda? Lagipula, aku merasa perjalanan kami sedari tadi terlalu tegang.
"Kak Aga jomlo loh, Mbak." Aku semakin bersemangat menggoda Mbak Ziya.
"Kalo Mbak Ziya mau, ntar aku kasih nomernya Kak Aga deh." Mbak Ziya yang tersipu benar-benar terlihat menggemaskan, membuat aku semakin senang menggoda.
"Itu kelas kamu, masuk sana, mumpung ustaznya belum hadir." Mbak Ziya mendorongku pelan ke arah kelas. Aku terkekeh sejenak, terlalu semangat menggoda Mbak Ziya membuatku tak menyadari jika telah sampai di depan kelas.
Setelah berpamitan untuk memasuki kelas pada Mbak Ziya, aku segera menghampiri Fina, duduk disampingnya.
"Ketemu dimana kitabnya?" Fina menyambutku dengan wajah sumringah.
"Di atas bantal. Aku lupa naruh ternyata." Aku terkekeh, membuat Fina menggelengkan kepala.
"Kok tumben Ustaz Hadi belum hadir?" Aku menatap meja ustaz Hadi. Tak biasanya ustaz paruh baya itu datang terlambat.
"Ustaz Hadi dialih tugasin ke tingkat wustho putra. Kita dapet ganti ustaz baru. Katanya sih spesial, gak tau siapa." Fina mengendikkan bahu.
"Dapet kabar dari mana?" Aku mengernyitkan dahi.
"Tadi Ustaz Hasan ke sini." Fina menjawab singkat, ia membuka kitab Riyadhusnya dan membaca lirih. Aku hanya mengangguk pelan sembari melakukan hal yang sama.
"Assalamualaikum warahmatullah, maaf saya tidak tepat waktu di hari pertama." Aku terbelalak menatap seseorang yang baru saja memasuki kelas.
Ralat, bukan hanya aku yang terbelalak. Seluruh penghuni kelas tebelalak menatap sosok yang baru saja masuk. Pengajar pengganti spesial yang dimaksud Ustaz Hasan ternyata,
"Bening." Lelaki pengganti Ustaz Hadi itu melewatiku dengan senyuman dan anggukan. Aku masih terpaku, belum mampu mencerna segala sesuatunya dengan baik.
Aku meraba dadaku, lagi-lagi, mengapa ia berdebar sekencang ini setelah lelaki itu menyapaku? Debar apa ini?
"Baiklah, sekali lagi saya meminta maaf karena terlambat. Ustaz Hadi dipindahkan ke wustho putra karena ada sebuah alasan. Jadi, di sini saya menggantikan Ustaz Hadi untuk mengkaji kitab Riyadhus Sholihin. Sampai bab sabar ya?" Seisi kelas hanya mengangguk, tak bersuara.
"Bening, demi apa?" Fina berbisik. Aku seketika menoleh.
"Sejak kapan ada ceritanya putra Abah Yai ikut ngajar?" Fina kembali berbisik.
Aku masih mematung.
*****
~Jangan lupa! Jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar 😘.~
KAMU SEDANG MEMBACA
Dewa Hujan Di atas Telaga (Sudah Terbit)
SpiritüelNamaku Raina Putri Bening. Raina karena Bunda suka hujan, Putri karena aku perempuan, dan Bening agar hatiku bening atau jernih seperti air. Jadilah aku seorang gadis pecinta hujan yang memiliki hati bening. Lelaki itu Dewa Faishal Abdillah. Dia pu...