“Rain, bagaimana kuliah kamu? Lancar, Nak?” Aku seketika mengalihkan pandangan dari televisi, menatap sumber suara. Buya duduk di sampingku dan tersenyum.
“Alhamdulillah lancar, Buya.” Aku menjawab singkat.
“Fokus kuliah ya, Rain.” Aku kembali menoleh ke arah Buya. Entah mengapa aku merasa Buya sedang memiliki maksud lain dari kata fokus yang beliau lontarkan.
“Rain memang selalu fokus pada sesuatu yang sedang Rain jalani, Buya.” Aku mematikan televisi, fokus menatap Buya.
“Jangan dulu cinta-cintaan ya.” Buya membalas tatapanku. Kali ini aku merasa paham akan arah pembicaraan Buya.
“Kenapa, Buya?” Aku sengaja memancing Buya untuk mengungkapkan maksud obrolan beliau sebenarnya.
“Biar kamu benar-benar fokus ke kuliah aja.” Buya tersenyum tenang.
“Bukan karena Rain udah ada yang nunggu pas lulus nanti?” Aku lelah dengan basa-basi Buya.
“Rain,”
“Rain tau, Buya udah punya calon buat Rain kan? Putra kyai mana itu, Rain lupa. Ekspektasi Rain tentang memiliki seorang Buya yang demokratis mendadak hilang. Rain merasa hidup di zaman Siti Nurbaya.” Oh, Ya Allah, maafkan aku yang memotong kalimat Buya. Aku hanya lelah merasa semuanya seolah baik-baik saja, padahal banyak sekali hal yang tersembunyi.
“Kamu tau lebih cepat dari perkiraan Buya, Rain?” Buya menatapku dengan tatapan yang entah, aku tak bisa mengartikannya.
“Seharusnya sudah tidak ada yang namanya perjodohan di zaman milenial ini, Buya.” Alih-alih menjawab pertanyaan Buya, aku justru menunduk, menghembuskan nafas pelan.“Ini sudah menjadi janji, Rain. Maafkan Buya.” Kulirik, Buya ikut menundukkan kepala.
“Seharusnya lagi, Buya tak perlu mudah sekali mengumbar janji.” Aku masih enggan mengangkat kepala.
“Rain bahkan tak mengenal siapa lelaki itu, bagaimana perangai dia, memiliki kecocokan rasa atau tidakkah dengan Rain. Seharusnya, banyak sekali hal yang bisa Buya diskusikan kepada Rain terlebih dahulu. Namun dengan kabar ini, mendadak Rain tak yakin kalau Buya masih mau mendengar gagasan-gagasan Rain.” Aku melanjutkan ucapan ketika menyadari Buya tak mengeluarkan suara apapun.
“Dia lelaki yang baik, Rain.” Buya melakukan pembelaan.
“Baik bagi Buya tak lantas baik bagi Rain, Buya.” Aku kembali menghembuskan nafas pelan.
“Kalian bisa saling kenal nantinya. Kabar bagus kalau kamu sudah tau perjodohan ini lebih cepat, Rain. Buya bisa lebih cepat mengenalkan lelaki itu ke kamu. Masa perkenalan kalian lebih lama.” Aku terbelalak, bagaimana bisa Buya justru senang dan tak merasa bersalah?
“Semenjak pertama kali Rain denger kabar ini, mendadak Rain gak mengenali Buya. Maaf Buya, Rain masuk dulu ke kamar. Assalamualaikum.” Aku berdiri, melangkahkan kaki menuju kamar.
Kudengar, Buya menjawab salamku lirih.
Aku menghempaskan tubuh ke ranjang begitu menutup pintu kamar. Melelahkan sekali rasanya menikmati liburan dengan fikiran yang menumpuk. Biasanya, libur semester menjadi waktu yang paling kutunggu-tunggu. Namun, semenjak beberapa bulan yang lalu ketika mendengar kabar perjodohan, mendadak aku ingin kampus menghapus saja jadwal liburan semester. Aku malas pulang ke rumah dan menghadapi fakta-fakta baru yang akan kutemui.*****
“Bunda,” Aku memanggil Bunda lirih, enggan mengganggu ketenangan beliau menatap hujan yang sedang turun.
“Rain? Kenapa? Sini duduk sama Bunda.” Bunda menoleh, menepuk sisi kosong gazebo sebagai isyarat agar aku kesana.
“Rain ganggu Bunda gak?” Aku mendekati Bunda, duduk di samping beliau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dewa Hujan Di atas Telaga (Sudah Terbit)
EspiritualNamaku Raina Putri Bening. Raina karena Bunda suka hujan, Putri karena aku perempuan, dan Bening agar hatiku bening atau jernih seperti air. Jadilah aku seorang gadis pecinta hujan yang memiliki hati bening. Lelaki itu Dewa Faishal Abdillah. Dia pu...