Hujan Semakin Terusik

2.1K 310 41
                                    

“Udah biasa sih, namanya juga putri kyai. Di mana-mana kan emang gitu nasibnya.”

“Kirain Ning Rain gak perlu ngerasain zamannya Siti Nurbaya, nyatanya sama aja. Kasihan.”

“Tapi namanya Ning, pasti dapetnya Gus juga kan? Minimal anaknya pengusaha lah. Aku kalo jadi Ning Rain sih, terima-terima aja. Enak kan? Gak usah susah-susah nyari, udah ada yang dateng ke rumah.”

“Eh yakin, aku penasaran siapa sih calonnya Ning Rain?”

Aku terdiam menatap langit-langit kamar. Ini hari ketiga semenjak kepulanganku ke Malang. Kamarku lengang, tapi fikiranku penuh. Bunda yang masih belum diizinkan pulang dari rumah sakit, tumpukan tugas kuliah yang kutinggalkan di Surabaya, Kak Aga yang berubah, Buya yang tak banyak bicara, Bulan yang sibuk sekolah, dan bisik-bisik para santri.

Aku tak sedang ingin membahas adab-adab penuntut ilmu. Dari segi apa pun, membicarakan orang lain di belakang atau yang biasa disebut ghibah bukanlah hal yang dibenarkan, apalagi sampai mengghibahkan guru dan para dzurriyahnya. Ghibah termasuk dosa haqqul adami bukan? Dosa yang termaafkan jika kita sudah meminta maaf pada yang dijadikan objek ghibah? Maka insyaa Allah, aku telah memaafkan seluruh santri Buya yang akhir-akhir ini sedang sibuk menjadikan namaku sebagai obrolan hangat.

Ah, seperti yang kukatakan di awal. Aku sedang tak ingin membahas tentang ghibah. Aku justru tertarik dengan apa yang menjadi topik ghibahan itu. Kenapa semuanya berpusat pada namaku? Aku benar-benar buta dengan suasana rumahku sendiri. Sebenarnya ada apa? Kenapa tak ada yang berniat memberiku setitik kabar pun? Tidak Bunda, Buya, Bulan, apalagi Kak Aga. Sebenarnya kisah apa yang telah kulewatkan? Cerita apa yang sedang dirahasiakan?

Aku bangkit dari ranjang, mengambil jilbab instan dan segera keluar kamar. Aku harus menuntaskan rasa penasaranku. Aku tak boleh asing di rumahku sendiri.

“Assalamualaikum, Bulan. Ini Ning Rain, buka pintunya, tolong.” Aku mengetuk pintu kamar Bulan.

“Waalaikumsalam.” Tak ada semenit, Bulan telah membuka pintunya, mempersilahkan aku untuk masuk.

“Lagi banyak banget tugas sekolahnya?” Aku melihat beberapa kertas folio yang bertebaran di atas ranjang.

“Guru-gurunya ngasih tugas gak pake ampun, Ning. Gak mau kasih Bulan sedikit pun keringanan, padahal bundanya Bulan kan lagi dirawat di rumah sakit.” Bulan mendengkus sebal sembari fokus pada selembar kertas.

“Sekolah ya sekolah, rumah ya rumah. Sudah ada takaran tanggungjawab pada masing-masing tempat, Bulan.” Aku tersenyum menatap raut serius bungsu bunda itu.

“Ning Rain ngapain ke kamar Bulan?” Bulan menoleh sejenak, menatapku.

“Kangen sama adeknya Ning yang cantik ini lah. Ning Rain udah pulang tiga hari sama sekali gak diajakin ngobrol.” Aku berpura-pura mengerucutkan bibir.

“Bentar, Bulan kurang nyalin rangkuman satu halaman lagi, terus kita ngobrol. Oke?” Bulan terkekeh, kemudian kembali fokus. Aku hanya mengangguk.

Beberapa menit kemudian, Bulan terlihat mengumpulkan kertas-kertasnya yang berserakan, tugasnya telah selesai.

“Sebulan ini ada kejadian apa aja sih di rumah? Kok Ning Rain masuk rumah kayak ada yang aneh.” Aku mulai membuka pembicaraan.

“Apa ya? Bulan gak terlalu perhatian sih. Tugas sekolah Bulan banyak, sampek gak sempet merhatiin rumah. Ah, Bulan jadi kangen Bunda.” Bulan menampilkan raut sendu. Aku mengusap lembut rambutnya yang tergerai.

“Habis isya nanti ikut Ning nengokin Bunda ya?” Bulan mengangguk antusias.

“Kamu beneran gak tau apa yang aneh akhir-akhir ini? Kayak kenapa tiba-tiba asma bunda kambuh, misalnya?” Aku kembali memancing Bukan dengan pertanyaan.

Dewa Hujan Di atas Telaga (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang