“Jangan suka bikin ulah kayak di Kudus dulu ya, Rain. Inget! Bunda gak mau kamu ngrecokin Aga lagi.” Bunda mencium keningku. Aku hanya mengangguk takzim dan mencium tangan beliau. Kak Aga kulihat tersenyum mendengar ucapan Bunda.
“Kuliahnya difokusi, mondoknya ditekuni. Dunia akhirat seimbang, Rain. Beribadah seolah-olah esok akan mati, dan bekerja seolah-olah akan hidup selamanya.” Kali ini Buya dengan segala petuahnya mengusap kepalaku lembut. Aku mengangguk patuh, mencium tangan beliau juga.
“Rain berangkat ya, Buya, Bunda. Kalo kangen telepon aja, ntar Rain pulang. Jangan pernah dateng ke pondoknya Rain kecuali ntar kalo Rain udah wisuda pesantren. Kalo ada pertemuan wali santri biar Kak Aga aja yang dateng.” Aku terkekeh melihat ekspresi manyun Bunda.
“Kamu kayak anaknya Aga, Rain. Bunda sampek lupa kapan terakhir kali ngrecokin kehidupan kamu.”
“Rain sudah besar, Dek. Biar saja, kamu masih bisa ngrecokin kehidupan Bulan.” Buya mengusap lengan Bunda, sedang Bulan yang merasa namanya disebut segera memajukan bibir.
“Bulan juga sebenernya gak suka direcokin Bunda. Bulan juga udah besar, Buya. Udah masuk SMP taun ini.” Bulan terlihat protes, ia mencak-mencak sebal dan segera masuk ke dalam mobil setelah mencium tangan Buya dan Bunda dengan bersungut-sungut. Ia ikut mengantarku ke Surabaya pagi ini.
“Kak Aga belum pantes punya anak, Bunda. Apalagi anaknya segede Rain.” Aku kembali mencium tangan Bunda sebelum masuk ke dalam mobil. Kak Aga kulihat tertawa lirih.
“Aga berangkat dulu, Buya, Ummi.” Kak Aga ikut mencium tangan Buya dan Bunda. Oh ya, di kalangan pesantren, Bunda dipanggil Ummi.
“Titip Rain ya, Aga. Maaf dia hobi merepotkan kamu.” Buya mengusap lengan Kak Aga. Aku meringis sebal, selalu saja aku dianggap merepotkan Kak Aga. Kak Aga bahkan tak pernah merasa kurepotkan.
“Gak pernah, Buya. Rain anak yang baik. Justru Aga senang bisa mengantar Rain ke mana-mana.” Bagus! Itu baru Kak Agaku.
“Ya sudah, hati-hati di jalan. Kalo sudah daftar pesantren, udah dapet kamar, segera telepon Bunda, Rain. Awas kalo kamu pura-pura lupa, Bunda kutuk jadi cantik kamu.” Aku terbahak mendengar kutukan Bunda.
“Ketawanya, Rain. Ya Allah, kamu perempuan.” Bunda menatapku masam, aku justru semakin terbahak.
“Kamu jaga imej dikit gitu di depan Aga.” Kali ini Kak Aga ikut tertawa mendengar ocehan Bunda. Demi apa? Aku tak mungkin menjaga imej di hadapan siapa pun, terlebih di hadapan Kak Aga yang telah tau seluruh sifatku.
Kak Aga segera masuk ke mobil setelah mengusaikan tawanya. Aku mengucap salam dan melambai pada Bunda dan Buya begitu Kak Aga melajukan mobil. Kulihat Bunda membalas lambaianku, matanya menatap kepergian mobilku dengan sendu.
Bunda, bagaimana pun juga tetap ibuku. Seorang perempuan hebat yang melahirkanku. Aku memang selalu bepergian tanpanya, sengaja menuntut ilmu di luar Malang karena tak betah tinggal di kota itu. Bunda sudah sering kutinggalkan. Namun, aku tetap saja putrinya, sulungnya, terpisah dariku tentu saja membuatnya sedih. Ah Bunda, kenapa mendadak Rain jadi semelow ini?
“Kok nangis? Gak tega ninggalin Bunda ama Buya?” Suara Kak Aga membuatku tersadar bahwa ada setetes airmata yang mengalir. Aku segera mengusapnya, kemudian mengangguk.
Kak Aga selalu paham, seingin apapun aku keluar dari Malang, aku akan tetap merindukan kota kelahiranku itu. Sesering apapun aku meninggalkan Bunda, aku masih saja meneteskan airmata setiap keluar dari lingkungan pesantren untuk pergi lama.
“Selalu saja begitu. Kalo memang gak tega ninggalin kenapa masih ngotot mau kuliah di Surabaya? Kan, kemarin bisa ambil yang di Malang.” Kak Aga terkekeh, matanya lurus menatap jalanan.
“Aku sebenernya suka-suka aja tinggal di Malang, Kak. Bunda sama Buya juga gak pernah ambil pusing ama tingkah aku. Tapi orang-orang itu loh, bikin aku gak suka. Mereka selalu nuntut aku buat jadi putri seorang Buya Rasyid yang lemah lembut, bicara halus, dan tetek bengeknya. Ya Allah, itu bukan Raina banget, Kak.”
“Tadi aja pas aku ketawa, mbak-mbak yang ada di rumah langsung noleh semua. Ketawa aku masih normal loh, Kak. Temen aku ada yang ketawanya kayak kuntilanak, kalo lagi ketawa mulutnya buka lebar banget. Gak asik tau jadi bahan omongan orang. Siapa juga yang betah di rumah kalo gitu.” Aku mendengkus kesal. Sayangnya, Kak Aga justru terkekeh.
“Itu kelemahan kamu. Selalu mau jadi diri sendiri, tapi gak mau cuek ama sekitar. Ketika kamu memantapkan hati untuk tidak munafik sama sifat asli kamu, seharusnya kamu abai sama komentar orang lain. Setiap orang berhak dengan pemikiran mereka, begitu juga kamu yang berhak dengan pemikiran kamu sendiri.” Kak Aga berpanjang lebar, tatapannya tak beralih dari jalanan. Aku mengangguk setuju, itu salah satu kelemahanku. Tak bisa abai pada ucapan orang lain mengenai diriku.
“Terus selamanya mau kabur dari Malang gini? Nanti kalo udah lulus kuliah gimana? Mau gak mau tetep balik ke Malang kan?” Kak Aga kembali bersuara.
“Gak mau netep di Malang. Target aku sebelum lulus harus udah punya calon. Ntar sebelum wisuda udah akad nikah, biar begitu lulus langsung ada yang bawa aku pergi. Gak mau balik ke Malang pokoknya.” Aku tersenyum, menerawang masa depanku.
“Pesantrennya Buya harus ada yang nerusin. Dzuriyyah Buya perempuan semua, otomatis suami kamu harus nerusin kepemimpinan Buya.”
“Biar suaminya Bulan aja, aku ikhlas kok.” Aku melirik kursi belakang. Gadis yang baru saja kusebut namanya itu sedang terlelap tenang, ia mudah sekali tertidur ketika berada di dalam mobil.
“Atau kalo gak, kan ada Kak Aga. Kak Aga lebih proporsional jadi keturunannya Buya daripada aku.” Aku terkekeh. Kak Aga menoleh, menatapku tajam. Kebetulan lampu lalu lintas sedang berwarna merah. Aku mengernyitkan dahi, tak paham mengapa Kak Aga mengeluarkan ekspresi itu.
“Hujan, dengerin Kak Aga! Sedekat apapun Kak Aga dengan Buya dan Ummi, Kak Aga bukan keluarga kamu. Gak ada darah Buya yang mengalir di tubuh Kak Aga. Kak Aga gak bisa meneruskan kepemimpinan sampai kapan pun, kecuali Kak Aga jadi suami kamu.”
“Uhuk... Uhukk.” Aku tersedak ludahku sendiri. Demi apa Kak Aga berkata demikian? Kenapa pembahasan penerus pesantren jadi seserius ini? Dan lihatlah! Wajah Kak Aga seserius itu. Tak ada sedikit pun raut bercanda disana.
“Dan sampai kapan pun juga, Kak Aga tetep Abang kamu, Hujan. Tidak akan berubah.” Kak Aga kembali melajukan mobil.
Aku masih terpaku. Dia Kak Aga, Kak Agaku. Satu-satunya orang yang memanggilku Hujan, panggilan yang aku sukai. Dan tatapan matanya berubah sendu ketika mengucapkan kalimat yang baru saja kudengar. Aku melihatnya, aku melihat perubahan itu. Jika Kak Aga dengan mudah memahamiku, maka begitu pula aku. Jadi, ada apa dengan Kak Agaku kali ini?
*****
Naya paham, para singlelillah pasti lagi pada menikmati Sabtu malam dengan kegabutan. Makanya, Naya update si Rain-Aga. Lumayan buat nemenin Sabtu malam, kan? Naya baik dong 😎.Dua dulu aja yaaa, jangan protes, plis!
Nikmati, syukuri.
Selamat melepas rindu dengan Raina-Aga 😘.~💗Jangan lupa, jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar. 💗~
KAMU SEDANG MEMBACA
Dewa Hujan Di atas Telaga (Sudah Terbit)
EspiritualNamaku Raina Putri Bening. Raina karena Bunda suka hujan, Putri karena aku perempuan, dan Bening agar hatiku bening atau jernih seperti air. Jadilah aku seorang gadis pecinta hujan yang memiliki hati bening. Lelaki itu Dewa Faishal Abdillah. Dia pu...