“Bening? Tumben udah sampek pesantren duluan? Biasanya juga suka telat-telat kalo balik dari liburan semester.” Aku menoleh dan mendapati Fina berdiri takjub di pintu kamar.
“Bosen di rumah, Fin. Gak ada kesibukan juga, kan mending balik pesantren.” Aku memamerkan rentetan gigi.
“Lah, emang di pesantren juga ada kegiatan? Pesantren mulai aktif aja masih dua hari lagi. Masih sepi juga ini, belum ada yang balik. Udah di pesantren dari kapan kamu?” Fina masuk ke dalam kamar dan duduk di atas ranjangnya.
“Tiga hari yang lalu. Kamu juga ngapain balik sekarang? Kan, pesantren masuknya masih dua hari lagi?” Aku bangun dari posisi tiduran, kini duduk menatap Fina.
“Aku kalo balik liburan emang selalu lebih awal, Ning. Kan, rumahku jauh.” Aku mengangguk paham. Aku baru tahu jika Fina memiliki kebiasaan itu. Lagipula, darimana aku akan tahu kebiasaan itu? Biasanya, aku selalu terlambat kembali ke pesantren barang sehari atau dua hari ketika liburan.
“Terus, kamu dari tiga hari yang lalu ngapain aja di pesantren? Emang udah ada orang ya?” Fina menatapku dengan tatapan yang aneh.
“Kamar sebelah ada Mbak Ghaniya ama Mbak Riskia. Kebetulan, mereka dapet jatah piket pesantren. Aku ngapain aja? Makan, baca buku, tiduran, jamaah di masjid, sesekali bantuin mbak-mbak pengurus bersihin pesantren, udah.” Aku menjelaskan keseharianku di pesantren selama tiga hari ini pada Fina.
“Jangan-jangan ada janji ketemuan ama Gus Dewa ya? Makanya balik pesantren lebih awal.” Fina mengerlingkan matanya, menggodaku.
“Astaghfirullah pikiran kamu, ya enggak lah! Dosa kamu suuzon.” Aku mengerecutkan bibir, cemberut menatap Fina.
“Terus? Kenapa balik lebih awal?” Fina masih menatapku. Kali ini dengan raut curiga.
“Ya gakpapa, Fin. Pengen aja. Lagian pesantren juga udah buka kok, emang gak boleh?” Aku mengendikkan bahu cuek.
“Aneh, Ning.” Fina mengeluarkan beberapa pakaian dari dalam tas, kemudian menatanya di lemari.
“Aneh apanya?” Aku mengernyitkan dahi.
“Kamu gak lagi ada masalah di rumah, kan?” Fina menghentikan kegiatannya sejenak, menatapku.
“Gak ada, Fin. Emang pengen balik lebih awal aja. Aku gakpapa kok.” Lagi-lagi aku berbohong. Entah ini kebohonganku yang keberapa. Aku ingin bercerita, tapi setiap kali akan membuka mulut, mendadak ada sesuatu yang membuat aku enggan.
“Kamu bisa cerita ke aku kalo ada apa-apa, Ning. Gak usah sungkan. Mungkin aku gak bisa nyelesaiin masalah kamu, tapi siapa tahu cerita bisa bikin kamu lega, in syaa Allah.” Fina meninggalkan ranjangnya, menghampiriku.
“Fina, aku emang ada masalah. Tapi, in syaa Allah aku baik-baik saja. Maaf, aku belum bisa cerita ke kamu.” Aku menatap Fina sembari tersenyum tulus.
“Ya udah, gakpapa. Tapi, suatu saat kalo kamu emang lagi butuh cerita, cerita ke aku aja gakpapa. Oke?” Fina membalasku dengan senyuman yang sama. Tangannya mengusap lembut bahuku.
“Siap. Makasih ya, Fin.” Aku memeluk Fina erat.
“Gak usah makasih, Ning. Kita sama-sama jauh dari keluarga. Emang udah seharusnya kita nyiptain keluarga sendiri di sini. Kita pasti saling membutuhkan.” Fina membalas pelukanku.
“Udah ah, malah jadi peluk-pelukan gini. Drama banget kita.” Aku terkekeh untuk menutupi rasa haru.
“Iya ih, gak pantes banget kita ngedrama gini. Tuh kan, baju aku gak jadi ditata.” Fina ikut terkekeh.
“Ya udah, sana terusin nata bajunya.” Aku mendorong pelan bahu Fina, mengarahkan gadis itu ke ranjangnya.
“Iya iya.” Fina berjalan menuju ranjangnya sembari tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dewa Hujan Di atas Telaga (Sudah Terbit)
SpiritualNamaku Raina Putri Bening. Raina karena Bunda suka hujan, Putri karena aku perempuan, dan Bening agar hatiku bening atau jernih seperti air. Jadilah aku seorang gadis pecinta hujan yang memiliki hati bening. Lelaki itu Dewa Faishal Abdillah. Dia pu...