Telaga Meluap

2.6K 331 72
                                    

Telaga

"Ternyata Rain sudah besar ya, Ga?"

"Eh, Buya."

Aku menoleh dan mendapati Buya berdiri di sampingku. Aku yang tengah mengamati kegiatan sore para santri dari balkon ndalem seketika tersenyum. Sebenarnya aku sedikit bingung. Perihal apa yang membuat Buya tiba-tiba muncul di sampingku dan membahas Rain? Padahal, kegiatan yang saat ini tengah aku lakukan sungguh tak ada hubungannya sama sekali dengan putri sulung Buya itu.

"Raina Putri Bening. Gadis kecil keras kepala itu sekarang sudah besar ternyata, Ga." Buya berjalan menuju kursi di teras balkon dan duduk.

"Iya, Buya. Rain sudah besar." Aku menyusul beliau dan ikut duduk di sampingnya.

"Dulu, pertama kali kamu dateng ke sini, Rain masih suka dikuncir dua. Lari-lari ke sana-ke mari gak pakai jilbab. Kamu sering gandeng dia ke mini market buat beliin es krim tiap dia nangis." Buya melanjutkan ucapannya sembari menerawang. Masih tentang Rain.

"Iya, Buya." Aku menjawab singkat. Lagipula, aku juga bingung harus menjawab seperti apa.

"Sekarang Rain sudah besar, Ga. Dia masih saja suka ngajak kamu ke mana-mana. Anak itu memang hobi sekali merepotkan orang." Buya terkekeh lirih.

"Sama sekali tidak, Buya. Saya tidak pernah merasa direpotkan oleh Rain." Aku tersenyum. Memang benar, aku tak pernah merasa direpotkan oleh Rain, sama sekali. Aku justru senang ketika gadis itu meminta tolong padaku.

"Buya yang merasa direpotkan, Ga. Bukan kamu." Buya lagi-lagi terkekeh. Kali ini, entah mengapa terdengar sumbang di telingaku.

"Maksudnya, Buya?" Aku mengernyitkan dahi. Sebenarnya arah bicara Buya ini ke mana?

"Buya punya janji sama salah satu sahabat, Ga. Kami akan menjodohkan anak-anak kami. Kebetulan sekali, Rain lah yang cocok untuk Buya jodohkan dengan putra sahabat Buya itu. Bulan masih terlalu kecil. Tapi, mendadak Buya mengkhawatirkan satu hal," Buya menghentikan ucapannya sebelum selesai, seolah memancing aku untuk bertanya kelanjutan kalimatnya.

"Khawatir kenapa, Buya?" Akhirnya aku memang harus bertanya. Toh, aku benar-benar penasaran dengan kelanjutan kalimat beliau.

"Kamu paham kalau Raina itu gadis yang keras kepala. Sejak awal, dia sudah membenci perjodohan ini. Buya paham jika Buya yang salah karena terlalu mudah berjanji. Tapi, bagaimana lagi, Ga? Semuanya sudah terlanjur. Janji itu hutang, bukan? Buya tetap harus melaksanakan perjodohan ini. Dan, melihat kedekatan kalian, mendadak Buya semakin khawatir jika Rain akan benar-benar menolak perjodohan ini, bahkan nekat melakukan hal-hal yang tidak terduga." Buya mengembuskan napas panjang.

"Memangnya kenapa, Buya?" Aku masih bingung mengimbangi obrolan Buya, sungguh!

"Bagaimana jika Rain menyukai kamu, Aga? Bukan sebagai abangnya, tapi sebagai yang lain. Buya tak perlu khawatir pada kamu. Kamu pasti bisa membedakan rasa dengan benar. Tapi, bagaimana dengan Rain?" Buya mengusap wajah, terlihat risau. Aku mendadak tersenyum getir.

"Tidak akan, Buya. Rain selalu menganggap saya abangnya. Tidak pernah lebih. Buya tak perlu sekhawatir itu." Aku masih tersenyum getir. Dugaan Buya sungguh terbalik. Justru aku yang tak pandai memilih rasa untuk seorang Raina Putri Bening. Aku yang kewalahan menyeimbangkan posisi, kebingungan menentukan bahwa lebih pantas mana antara menjadi abang atau pasangan untuk gadis itu.

"Tidak ada yang bisa menebak hati seseorang, Aga." Buya masih menunjukkan raut khawatir.

"Benar, Buya. Tapi, untuk hal yang satu ini, saya berani menjamin. Rain tak pernah menganggap saya lebih dari sekedar abang." Lagi-lagi aku tersenyum getir. Memang begitu kebenarannya, bukan?

Dewa Hujan Di atas Telaga (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang