“Mas buburnya mau berapa porsi?”
“Dua saja pak.” sahut Anila tiba-tiba dan duduk di seberang Bahari.
“Yang ditanya itu Aku. Tapi kenapa Kau yang menjawab?”
“Ingat tidak pepatah sambil menyelam minum air?”
“Tidak. Nanti Aku mati tenggelam jika seperti itu caranya.” Jawab Bahari ketus.
“Kau kurang kasih sayang ya? Sampai terpikir ingin mati hanya karena satu pepatah.”Cobaan apalagi yang harus Bahari lewati. Rasanya angan-angan bubur dan semua kecap manisnya telah sirna tertiup ucapan sang gadis. Siapa pula yang ingin bunuh diri hanya karena satu pepatah? Yang jelas Ia tak mau menghabiskan waktunya terbuang sia-sia.
“Kenapa Kau diam saja? Aku pikir Kau paham untuk apa bibir diciptakan.” Pertanyaan Anila bagaikan angin lalu, dirasa namun tak di dengar.“Mas Bahari memang seperti itu neng. Tidak pernah dekat dengan wanita, sekali berdekatan bisa langsung nervous.”
“Aku tidak mencoba mendekat loh pak. Jarak kursi ini bahkan jauh sekali, sejauh Aku menjangkau dirinya.”
“Eh Si Eneng jago gombal euy.” Sindir Pak Johan.
Selama Ia hidup, ini kali pertama Bahari bertemu sesosok makhluk yang rasa malunya teramat tak kasat mata. Belum lagi tingkat kepercayaan diri yang Bahari yakin mampu menyamai tingginya gedung-gedung di ibu kota.
Bahari menghembuskan nafasnya kasar seraya bangkit berdiri mendekat kearah Pak Johan dan meminta agar bubur miliknya dibungkus saja.
Tak lama Bahari pun menghampiri Anila. Ia terheran, bisa-bisanya sang gadis tampak biasa saja seperti tak pernah terjadi apapun diantara mereka.
“Untuk apa Aku harus berucap saat tahu bahwa lisan tak lagi dihargai?”
“Maka ungkapkanlah melalui tulisan.” Jawab Anila singkat.
“Itu menyulitkan bagiku.” Jawab Bahari ketus.
“Kalau begitu, seberapa sulitkah menggerakan tangan dan pikiran dalam secarik kertas?” Tanya Anila tidak kalah sengit.
“Sesulit Aku menutup hati dan mata untuk sekedar merasa.”
“Sungguh tidak ada yang sulit di dunia ini bila kita mau mengikhlaskan. Yang sulit itu hatimu. Mengapa kau menutupnya?”
“Kau tahu kegunaan kunci? untuk mengunci hal yang dianggap penting bagi pemiliknya bukan?” Bukan nya menjawab, Bahari justru melontarkan pertanyaan kepada Anila.Kening Anila sedikit mengerut keheranan akibat pertanyaan dadakan yang Bahari lontarkan padanya.
“Aku tidak bisa bilang bahwa pernyataanmu salah. Yang jelas pernah tidak dirimu coba melihat satu hal dengan berbagai sudut pandang? Kali ini Aku hanya ingin satu selain milikmu. Kegunaan utama kunci itu untuk membuka sesuatu yang sudah tertutup rapat dan dirasa amat berharga. Aku bukan paranormal ataupun ahli kejiwaan yang mampu menerawang psikis seseorang, namun Aku belajar memahami orang lain. Kalau Aku tanya kegunaan gembok untuk apa? Maka itu adalah jawaban dari pertanyaanmu.”
Deg.
Untuk pertama kalinya Bahari dibuat bungkam oleh Anila. Semua untain kata yang dikeluarkan sang gadis sungguh diluar dugaannya. Kenapa sebuah gembok dirasa bukan hal yang penting menurut nya? Tak pernah terlintas kata gembok dalam kepala Bahari sebelumnya.
Tatapan Bahari tak pernah lepas sedikit pun dari manik mata Anila, perlahan hati nya berdegup kencang namun seketika itu Bahari pun sadar bahwa ini semua hanyalah ilusi belaka. Ia segera menetralkan hatinya sebelum berdetak lebih kencang lagi.
“Pak Johan tolong berikan bubur nya untuk Koko saja ya. Saya sudah kesiangan…”Anila menengok kearah Bahari sekali lagi sebelum pergi meninggalkan kedai.“Namaku Anila, Anila Jumantara. Tidak perlu berterima kasih cukup sama-sama saja. Lagipula Aku menikmati perkenalan kita. Tidak tahu dengan dirimu. Kalau begitu Aku permisi dulu...”
KAMU SEDANG MEMBACA
Kalbu
RomansaWaktu akan terus bergerak. Tak mungkin berhenti, apalagi mundur. Lebih-lebih tak mampu kembali memutar ulang memori serta peristiwa yang telah lalu. Tapi, bolehkah jika Bahari mengharap sedikit keajaiban di dalam hidupnya? Meskipun ini terdengar tak...