Bab 5 - Tak ada jawaban pasti dari sebuah pertanyaan tentang hati

39 2 0
                                    

Anila menghembuskan nafas lega. Akhirnya ia bisa berjauhan dengan Bahari, bisa terpisah dengan bebas tanpa repot harus memikirkan degupan jantungnya jika berada di dekat Bahari. Itulah mengapa Anila lebih senang sendiri. Ia butuh jarak dan ruang. Anila masih ingin mengistirahatkan hatinya dengan tenang, tak mau membuatnya harus bekerja dengan cepat bila dengan Bahari.

Di sepanjang perjalanan ia memikirkan perasaannya. Ia mengerutkan dahinya, sibuk menerka apa yang sebenarnya ia yakini dan rasakan. Bahari seperti bukan sosok asing, baginya kehadiran Bahari terasa lengkap dan rasanya seperti pulang kembali ke rumah. Ya, perasaan itu yang sedari tadi mengganjal padanya.

Ia merapatkan telapak tangannya dan mengepalkannya di depan dada, "ya Tuhan ada apa dengan diriku? Aku kira ini kali pertama kami bertemu. Tapi kenapa rasanya seperti pulang kembali ke rumah jika berada di dekatnya? Siapa sebenarnya Bahari itu?" ia sibuk berbicara pada dirinya sendiri.

"Tidak.... Aku tidak bisa membiarkan diriku jatuh pada pria asing. Maksudku, siapa pria ini? datang dan hadir di hadapanku tanpa tahu malu? Tidak! Kau harus sadar Anila. Cukup satu kali kau membiarkan hatimu terluka. Ingat Ani, hati itu bukan sembarang hal. Jangan biarkan hatimu hancur kembali hanya karena cinta," ia menepuk atau lebih tepatnya menampar pipinya dengan tangannya sendiri, hal yang selalu Anila lakukan untuk meyakinkan dirinya akan satu hal.

Ia merapatkan pegangan pada tali tasnya. Perjalanan kali ini cukup panjang dan menguras sedikit tenaga, terlebih menguras pikiran dan hatinya. Anila berpapasan dengan beberapa warga sekitar dan selalu memberikan senyuman tipis sebagai sapaan ringan darinya untuk mereka. Sebagian warga disana sudah hafal siapa Anila, karena hampir setiap hari ia berkunjung ke desa ini untuk mengajar dan bermain bersama anak-anak asuhnya.

Dari kejauhan Anila melihat ada seorang kakek sedang mendorong gerobak yang isinya tak lain adalah barang rongsok. Kakek itu terlihat letih dan sedikit kesulitan untuk terus mendorongnya, Anila yang melihatnya pun segera menyusul dan membantu kakek itu.

"Mari saya bantu, Pak," tawar Anila sembari ikut mendorong gerobak di samping kakek itu.

"Sudah Neng ndak apa-apa, saya masih kuat kok," sergah kakek ke arah Anila.

Anila hanya mengelengkan kepala tanda bahwa ia tak setuju dengan pernyataan yang telah kakek itu lontarkan, "tidak pak, mari saya bantu. Kebetulan sekali kita satu arah, jadi bapak tidak mungkin merepotkan saya," Anila tersenyum ke arahnya.

"Yah kalau begini caranya, saya ndak bisa menolak, Neng," secara bersamaan mereka mendorong gerobak itu ke arah selatan.

"Lagian tidak baik Pak menolak pertolongan orang, apalagi dari gadis cantik seperti saya," canda Anila tak tahu malu.

Kakek itu tertawa pelan mendengar candaan Anila, "Iya, Neng, makasih banyak ya sebelumnya."

"Bapak tidak usah sungkan dengan saya, anggap saya teman Bapak saja biar aman," Anila semakin mendorong gerobaknya dengan kekuatan penuh, ia kembali berucap, "kenalkan, Pak, nama saya Anila," ucapnya sedikit tertawa.

"Panggil saja saya Erlan," ucapnya sebelum kembali melanjutkan, "Neng Anila ini kan sudah sore, ndak baik seorang gadis cantik berkeliaran sendirian di luar. Pasangannya mana?" tanya Pak Erlan kerahnya.

"Ini saya pulang mengajar bareng anak-anak disini, pak," Anila mengusap dahinya yang sedikit berkeringat, "toh saya sudah terbiasa pulang sore, terlebih saya masih sendiri kok Pak jadi tidak ada yang mengkhawatirkan saya," jawabnya sembari tertawa ringan.

"Neng mana mungkin masih sendiri. Saya lihat jari manis Neng sudah ada yang mengikat," ucap Pak Erlan seraya menunjuk ke arah tangan kanan Anila, terlebih jari manis nya yang sedang menggenggam erat dorongan gerobak.

KalbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang