Bahari memejamkan kedua matanya, menikmati semilir angin yang menerpa tubuhnya, memberikan rasa segar baginya. Semua beban yang berada di pundaknya seperti ikut tertiup oleh kencangnya angin, ketenangan pun hinggap ke dalam tubuh dan pikirannya. Jika disuruh memilih, maka ia lebih suka diam dan terus menikmati peristiwa langka ini, yang mungkin hanya terjadi sekali dalam hidupnya.
Bahari kembali membuka kedua matanya, diam-diam ia melirik Anila yang berjalan di sampingnya, tanpa bersuara, Anila terus menikmati senja kala itu sambil sesekali menundukkan kepala sebelum kembali menatap sekitarnya.
Sekelebat pikiran hinggap dalam benak Bahari.
Cantik.
Awalnya hanya itu kata yang sempat terpikirkan olehnya. Apalagi saat tahu Anila sesekali mengembangkan senyuman kecil, meskipun bukan untuk dirinya.
Anila memang gadis cantik nan jelita. Mungkin bukan seperti kebanyakan wanita saat ini yang lebih mengandalkan tubuh yang ideal juga wajah yang menawan, tapi justru dengan semua kesederhanaan yang ada pada dirinya. Pikir Bahari.
Tetapi ada perasaan aneh yang timbul pada dirinya. Bahari merasa seperti telah mengenal sosok Anila sejak lama. Namun, Bahari tak yakin dengan dirinya. Terlebih mengingat percakapaan antara Anila dengan Pak Erlan tadi, saat dirinya tak sengaja menangkap semua kata-kata yang Anila ceritakan kepada Bapak tersebut.
Bahari kembali mengingat semua ucapan Anila, ketika Gadis itu sedikit menceritakan masa lalunya mengenai cincin yang tersemat di jari manisnya. Ia terkejut saat mendengarnya, Bahari tak mengira kalau Anila sudah pernah ada yang mengikat, mengdoktrin bahwa sudah ada yang memilikinya.
Namun, dirinya lebih terkejut lagi saat tahu Gadis itu berucap bahwa seharusnya cincin itu sudah ia buang sejak jauh-jauh hari, tetapi kenapa? Ia bingung saat mengetahui semua hal tersebut. Semenjak Pak Erlan mengungkit pembicaraan itu dihadapan Anila, Anila tak lagi menyematkan benda itu di jarinya. Sayangnya, Bahari sudah menyadari keberadaan cincin itu sebelum Anila sempat melepasnya dan berniat memasukannya ke dalam tas.
Apa Anila sengaja menyembunyikannya di hadapan Bahari? Atau Anila memang tak ingin semua orang tahu bahwa dirinya sudah terikat dengan seseorang? Pertanyaan itu belum menyelesaikan semua kebingungan yang ada dalam benak Bahari. Karena ada hal lain yang lebih membuatnya berpikir, kenapa saat Anila akan menceritakan dirinya lebih jauh, Bahari justru menghentikannya dengan menyebutkan bahwa tak ada yang terjadi dengan dirinya?
Semua perkataan itu keluar begitu saja dari bibirnya. Bahari bahkan tak yakin mengapa dirinya berkata begitu kepada Anila.
Haruskah ia membahas percakapan itu? Tetapi setelah Bahari berpikir, sepertinya ini bukanlah waktu yang tepat untuk membicarakannya. Mungkin lain kali saja, ia akan menunggu, atau memastikan terlebih dahulu bahwa apa yang sempat Bahari dengar adalah kebenaran.
Lama kelamaan Bahari jengah dengan keheningan di sekitarnya, ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sebelum berucap, "seberapa jauh lagi aku harus berjalan tanpa mendengar sepatah kata pun dari patung yang bisa berjalan di sebelahku?" sindir Bahari.
Anila menatap sinis ke arah Bahari, lelaki di sebelahnya ini memang menyebalkan, mengganggu ketenangannya saja.
"Aku bukan patung yang kau sebut bisa berjalan itu," timpal Anila dengan ekspresi datarnya.
"Toh aku tak merasa sedang bersama manusia, rasanya aku hanya berjalan dengan makhluk yang tidak mempunyai mulut," ucapnya, "mengabaikan orang yang sedang menemanimu itu tidak baik Anila," tambah Bahari.
"Tidak jauh lagi ada sebuah halte di depan sana, kau akan pulang menaiki bus," jawab Anila singkat.
"Hanya aku? Lantas bagaimana denganmu?" tanya Bahari. Ia kira mereka akan pulang bersama-sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kalbu
RomansWaktu akan terus bergerak. Tak mungkin berhenti, apalagi mundur. Lebih-lebih tak mampu kembali memutar ulang memori serta peristiwa yang telah lalu. Tapi, bolehkah jika Bahari mengharap sedikit keajaiban di dalam hidupnya? Meskipun ini terdengar tak...