Bab 7 - Kehilangan yang Sesungguhnya

22 5 0
                                    

Bahari keluar dari kamar mandinya sembari mengeringkan rambutnya yang basah. Handuk melilit dipinggang rampingnya. Sebagian tubuh atletisnya sudah ia tutupi dengan kaos abu-abu polos. Ia memang bukan tipe pria yang bila selesai mandi hanya melilitkan handuk di pinggangnya dan mengekspos setengah dari tubuh indahnya. Cukup kekosongan dan kehampaan yang menusuk-nusuk relung hatinya, jangan udara dingin di sekitarnya.

Sejak kepulangannya dari pertemuan singkat dengan Anila, Bahari tak bisa berhenti memikirkan gadis itu. Ia tahu perpisahan ini mungkin memang bukan yang pertama namun belum tentu pertemuan akan kembali terjalin. Tetapi jauh di dalam lubuk hatinya ia sangat menginginkan kehadiran gadis itu di sampingnya. Lagi.

Sudah lama sekali Bahari tak pernah merasakan perasaan ini. Sudah lama sekali Bahari menutup mata dan hati tentang apa yang ia rasakan. Ia kubur dalam-dalam perasaan cinta. Karena baginya alasan tercipta hati hanyalah benda yang senantiasa berdetak bila ia masih hidup. Ia percaya bila hidup tak selamanya tentang cinta, melulu membatin dan merana.

Hidup dalam kesendirian sudah lebih dari cukup baginya. Itu adalah prinsip yang selama ini ia yakini. Dan untuk pertama kalinya ia meragukan prinsipnya. Hanya karena satu gadis sempat hadir di dalam hidupnya.

Jauh sebelum Anila datang.

Sayangnya, ia tak mampu mengingat siapa gadis itu. Setiap kali ia bersikeras, berusaha mengingat semua kenangan yang dulu sempat ia simpan baik-baik di dalam memori otaknya, bekali-kali ia merasakan pening dan sakit yang luar biasa di kepalanya.

Bahari kembali memegangi kepalanya yang terasa sangat sakit. Bahkan rasanya jauh lebih menyakitkan saat ia berusaha menghubungkan apa yang hatinya saat ini rasakan, berhubungan dengan Anila.

"Ya Tuhan...." Ucapnya menggeram sembari memejamkan kedua matanya.

Kepalanya seperti ingin meledak. Membuka kedua matanya saja ia tak sanggup, apalagi berkedip. Bahari kembali mengeluarkan geraman kesakitan.

"Arrrrghh..."

Ia berusaha membuka kedua matanya. Tangannya yang satu mencoba meraih obat yang berada di atas nakas yang bersebelahan dengan tempat tidur miliknya.

"Aku tahu kau pasti bisa, Bahari..." ujar Bahari kepada dirinya sendiri. Dengan sedikit dorongan, akhirnya tangan kanannya berhasil meraih tempat obatnya. Kemudian ia membuka tutupnya dan mengeluarkan satu butir. Segera ia masukkan ke dalam mulutnya dan menenggak habis air minumnya.

Reaksi yang dihasilkan setelah meminum obat itu kali ini berbeda, tidaklah cepat menghilangkan rasa sakit yang dideritanya. ini sudah lebih dari tiga menit, itu sudah melebihi waktunya. Seharusnya setelah dua menit, reaksinya akan segera muncul. Namun rasa sakitnya tak kunjung reda. Ia tak mungkin salah meminum obat, karena ia hanya memiliki satu obat pemberian dokternya. Dokter yang sering melakukan check-up padanya.

Ia mencondongkan tubuhnya ke dekat tumitnya. Kepalanya terasa semakin sakit. Dunia serasa berbutar di sekelilingnya.

Bahari tahu apa yang harus ia lakukan. Satu hal yang selalu ia andalkan jika ternyata kepalanya tak kunjung membaik, sekalipun Bahari sudah meminum obatnya. Ia berusaha mengambil ponsel miliknya yang berada tak jauh dari tubuhnya.

Perlahan ia nyalakan layarnya sambil sesekali memejamkan matanya. Ia paksakan membuka matanya meskipun rasanya ia tak mampu melihat dengan jelas apa yang tertera di layar ponsel miliknya.

Dulu saat pertama kali ia kesakitan ia selalu memanggil Kang Ujang untuk menghampirinya dan memintanya untuk memanggil Dokter Anastasia–Dokter sekaligus teman yang cukup dekat baginya–dan menyuruhnya datang agar secepatnya memeriksa keadaan Bahari.

KalbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang