Denting jam dinding terdengar di penjuru rumah yang luas nan megah. Lantainya terbuat dari marmer yang langka, hanya bisa dipesan melalui orang-orang tertentu. Dindingnya berwarna krem pucat, dipadu padankan dengan warna warm choco. Hampir semua furniturenya terbuat dari kayu. Memiliki halaman depan dan belakang yang super luas. Beraneka ragam bunga menghiasi sekelilingnya.
Sayangnya Sang Pemilik Rumah sedang tak berada disana. Hampir separuh waktu hidupnya ia habiskan di luar rumah. Apalagi jika bukan mengurusi pekerjaan dan menyelesaikan tugas yang tak pernah rampung itu. Satu selesai maka datang seribu. Begitulah Bahari.
Kantor adalah belahan jiwanya. Kertas adalah kekasih-kekasih gelapnya. Para investor adalah mangsa empuk baginya. Asisten serta para bawahannya, tak lain hanyalah budak-budak yang tunduk dan patuh dengan seluruh peraturan, perintah, dan tentu saja ucapannya. Mulut adalah senjata terbaik baginya.
Kekuasaan yang ia miliki adalah dambaan semua orang. Manusia mana yang tak ingin berada pada posisinya? Berangan-angan memiliki segalanya dengan mudah, cepat dan singkat. Tak bisa dipungkiri, Bahari sekalipun dulu merupakan satu diantara para manusia pengkhayal. Bermimpi besar ingin menjadi manusia besar.
Ketika Tuhan berkehendak, semesta merestui, sedang dirinya berambisi, maka tak ada yang mampu menghentikkan siapa sejatinya ia di dunia ini. Peran apa yang sudah Tuhan siapkan untuknya saat ini.
Bahari tersenyum disela-sela keheningan yang melingkupinya. Apalagi yang harus ia raih? Bukankah dirinya saat ini lebih dari sebuah relaksasi mimpi? Yang tak lain adalah hasil nyata dari sebuah harapan.
Ia bahkan tak pernah terpikirkan akan menjadi seorang Bahari yang baru di dunia yang sementara ini–dunia yang isinya bahkan kebanyakan manusia serakah akan tahta dan harta. Para manusia yang sibuk mengurusi uang dan kepentingannya sendiri. Tumpah ruah di mana-mana. Di sampingnya, tak kalah banyak manusia yang dalam sedetiknya saja ia harus berjuang untuk bertahan hidup melawan kematian yang terus menghantui. Kematian rohani, jasmani, dan materi.
Cukup. Jangan menutup sebelah mata, dan telinga. Jangan buta akan kenyataan. Meski terkadang realita itu menyakitkan, kejam, dan sadis. Itu semua memang benar. Tetapi manusia baik masih banyak di luar sana. Manusia yang hampir separuh atau bahkan seluruh hidupnya dihabiskan untuk membantu orang lain. Peduli terhadap sesama.
Harta mereka tak banyak, jauh dari kata melimpah. Hati merekalah yang kaya. Hati mereka luas. Seluas samudra antartika. Hati mereka rendah, tapi tak pernah merendahkan. Derajat mereka tak tinggi, namun tinggi dimata Tuhan. Mereka tak populer bagi penduduk bumi. Namun mereka terkenal bagi penduduk langit. Bahkan penduduk langit saling berebut untuk sekedar menyebut namanya.
Bukankah dunia indah jika dipenuhi manusia-manusia seperti mereka? Ya, tentu saja. Dunia pasti akan jauh lebih baik. Bahari yakin itu.
Bahari bangkit berdiri kemudian mengamit jas yang ia sampirkan pada gantungan di sebelah singgasananya. Kursi kebesaran miliknya.
Ia menekan tombol dial pada interkom miliknya. Menyambungkannya langsung dengan sekertarisnya. Ia berpesan ingin menghabiskan waktu makan siang di luar, pergi untuk sekedar menghirup udara kota metropolitan. Tak lupa menyaksikan betapa chaos dan hecticnya ibukota di jam-jam makan siang.
Di luar pintu ruangannya, berdiri supir pribadi Bahari yang setia menanti kepergian serta kepulangan dirinya. "Mang, tunggu disini sampai saya pulang. Saat ini saya sedang ingin berjalan-jalan seorang diri. Jangan temani saya," ucapnya memberi perintah kepada Mang Ujang.
Mang Ujang di hadapannya hanya bisa menunduk sembari mengangguk. Paham akan penjelasan singkat darinya. Jika boleh, sebenarnya Mang Ujang ingin bertanya, akan kemana gerangan Den Ari ini? Meskipun Bahari sudah dewasa, tapi bagi Mang Ujang, Den Ari selalu akan menjadi anak baginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kalbu
RomanceWaktu akan terus bergerak. Tak mungkin berhenti, apalagi mundur. Lebih-lebih tak mampu kembali memutar ulang memori serta peristiwa yang telah lalu. Tapi, bolehkah jika Bahari mengharap sedikit keajaiban di dalam hidupnya? Meskipun ini terdengar tak...