Perlahan angin berhembus masuk melalui celah kecil jendela disamping ruangan persegi itu, sedikit menggerakan anak rambut milik Mul. Meskipun ia belum beranjak dewasa, Imul ini calon lelaki berparas tampan yang memang sedikit tertutup saat berhadapan dengan orang baru. Baginya Bahari itu orang asing, Ia tak terlalu suka dengan lelaki. Terlebih itu adalah teman barunya Kak Anila.
Ia takut jika suatu hari nanti orang yang paling disayanginya akan pergi meninggalkannya lagi hanya karena hadirnya sosok baru dalam kehidupannya. Perasaan sakit itu masih membekas, meninggalkan jejak dihati kecilnya. Masih terlalu dini jika seorang anak laki mungil nan lucu yang tidak tahu mengenai apapun harus merasakan pahitnya perpisahan, kelamnya sebuah perceraian dan kejamnya dunia nyata.
Kejadian itu terus terpatri di dalam otak kecilnya, kenangan yang tidak pernah berhenti menghantui dirinya.
Siang itu sangat cerah, matahari bersinar terang benderang tepat diatas kepalanya. Para pedangan sesak memenuhi setiap sudut sekolahnya, sibuk membuat pesanan yang begitu banyak, ada yang dagangannya sepi dan memutuskan untuk berbincang ringan dengan pedangan lainnya, ada juga Abang pedagang yang kerepotan karena hampir semua teman Imul memesan jajanan kepadanya, tapi ada juga yang sedang duduk santai disamping gerobak miliknya sembari membaca koran terbaru pada hari itu dan sesekali menenggak kopi yang dibuat untuk dirinya sendiri.
Ya, setiap orang memiliki kesibukannya masing-masing. Sedangkan Imul terus saja tersenyum kearah Ibunya, berjalan berdampingan sembari berpegangan tangan dengan Sang Ibu. Imul tahu, dengan berhasil meraih juara pertama dalam lomba menggambar dapat membuat Ibunya bahagia. Meskipun dulu Imul tidak suka menggambar, tetapi pada akhirnya Ia belajar untuk menyukainya demi Sang Ibu. Karena Imul ingat, dulu ketika umurnya belum cukup untuk memasuki taman kanak-kanak ia pernah tak sengaja menggambar sekuntum bunga mawar, wujudnya memang tak sempurna, namun menurut Ibunya itu adalah gambar bunga yang sangat indah, seindah anak semata wayangnya, Imul.
Sejak saat itu, Imul bertekad ingin menjadi seorang pelukis handal yang mampu membuat siapa saja terkagum akan karyanya kelak. Ia ingin semua orang tahu bahwa dengan menggambar Ia mampu membuat Ibunya bangga, Ia mampu membahagiakannya, terlebih mampu memberikan rasa nyaman bagi siapa saja. Karena di dalam sebuah karya memiliki maknanya sendiri, entah itu rasa senang, sedih, ataupun sebuah kekecewaan yang mendalam karena telah kehilangan seseorang, atau bahkan sebuah rasa ketenangan.
Selama perjalanan pulang ke rumah Imul dengan Sang Ibu terus saja bernyanyi, melantunkan lagu-lagu yang disukai Imul. Untung saja radio di dalam mobil berjalan dengan baik, kalau tidak, mungkin Imul juga akan tetap bernyanyi dengan bantuan smartphone milik ibunya. Tetapi suaranya memang tidak sebaik penyanyi cilik kesukaannya. Joshua.
Sesaat setelah lagu tersebut berhenti berputar, Ibunda Imul tersenyum kearahnya.
"Terima kasih ya nak, hari ini Ibu bangga sekali kepadamu." Ucapnya sembari kembali fokus menyetir.
"Iya Bu, apapun akan Imul lakukan asalkan Ibu bahagia.." Ia melirik kearah Ibundanya sebelum mencoba melanjutkan ucapannya. "Oiya bu, ngomong-ngomong Ayah sudah pulang belum ya? Imul tak sabar ingin menunjukkan hasil gambaran Imul dan bilang kepada Ayah bahwa Imul mendapat juara pertama." Ia menggerakan kepalanya secara bergantian kearah kanan dan kiri , menikmati lagu yang sedang diputarnya dengan begitu antusiasnya sembari mengayunkan kedua kakinya.
Imul sedang larut dalam pikirannya sendiri, Sang Ibu yang sedang menyetir pun menepi sesaat untuk mengangkat teleponnya yang tiba-tiba berdering, sebuah panggilan tak bernama pun terlihat. Ia mengerutkan keningnya, memberi sedikit jeda apakah Ia akan mengangkatnya atau tidak. Dan Ia pun mengangkatnya.
"Halo selamat siang, apakah betul ini dengan istri Pak Dirman?"
"Betul, dengan saya sendiri..." Semua pernyataan itu muncul. Berita pahit yang dibeberkan oleh sang penelepon seketika membuat Ibunda Imul tersentak. Waktu terasa berhenti berdetak, dunia terlihat lebih hitam, dan seketika itu Sang Ibu menangis dengan tersedu-sedu. Ia tak tahu apa yang harus dilakukannya lagi selain segera menyalakan mesin mobilnya dan melajukannya ke arah tujuan utamanya secepat mungkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kalbu
RomanceWaktu akan terus bergerak. Tak mungkin berhenti, apalagi mundur. Lebih-lebih tak mampu kembali memutar ulang memori serta peristiwa yang telah lalu. Tapi, bolehkah jika Bahari mengharap sedikit keajaiban di dalam hidupnya? Meskipun ini terdengar tak...