Bab 4 - Kenangan Pahit Baginya (2)

60 4 0
                                    


"Kau tahu Ri," tanya Anila.

"Tahu apa? Tahu tempe?" gurau Bahari sembari melirik Anila yang berjalan disampingnya.

"Kau itu menyebalkan."

"Aku memang menyenangkan, dan juga tampan. Iya kan?" Ia kembali melirik Anila dengan tatapan seakan-akan aku-ini-makhluk-yang-paling-tampan-sejagad-raya.

"Jangan harap," jawab Anila ketus.

"Lebih baik berharap daripada hanya diam saja," timpal Bahari yang sukses membuat Anila semakin kesal kepadanya.

Anila mempercepat langkahnya dan meninggalkan Bahari di belakangnya. Ia melangkah dengan kesal, menghentak-hentakkan kedua kakinya. Menimbulkan suara seperti gempa bumi bagi penduduk semut disana. Sayangnya Anila tidak berhati-hati saat berjalan, karena dirinya masih saja kesal dengan sikap Bahari.

Tiba-tiba kakinya tak sengaja menginjak batu besar di depannya, Anila keseleo dan kehilangan keseimbangan badannya.

Bahari segara berlari kearah Anila, meskipun terpaut jarak 2 kaki namun Ia mampu melangkahkan kakinya dengan cepat. Saat sudah berada di dekat Anila, Ia pun segera menarik lengan Anila dan menahan berat tubuhnya, lengan kanannya memeluk tubuh Anila agar tidak terjatuh. Padahal Anila sudah membayangkan bahwa tubuhnya akan jatuh terjerembab ke tanah, Ia sudah memejamkan matanya erat-erat.

Mati sudah diriku. Batinnya.

Anila benar-benar sudah bersiap untuk menanggung rasa malu, namun bukannya terjatuh, justru Ia merasa bahwa dirinya seperti tertahan oleh sentuhan hangat tak kasat mata.

Tunggu. Sejak kapan tanah terasa hangat? Kenapa Aku tidak merasa kesakitan? Apa Aku melayang? Dimana suara gedebug itu? Apa iya sekarang tanah sudah berubah tekstur? Aneh. Pikiran tak masuk akal itu melayang-layang di dalam otaknya.

Bahari memeluk pinggang Anila menggunakan lengan kanannya, Ia semakin mengeratkan pelukannya karena takut jika Ia melonggarkannya, tubuh Anila akan kehilangan keseimbangan lagi.

Bahari menatap wajah Anila dengan lekat. Menilik setiap lekuk wajah yang dimilikinya, dari mulai jidat mulus lebarnya, hidung bangirnya, kelopak mata yang dilengkapi bulu mata yang lentik itu tertutup namun Bahari tahu bahwa manik mata Anila pastilah indah, Ia cukup membayangkannya saja. Perlahan tatapannya turun kearah bibir ranum milik Anila.

Bibir yang indah. Haruskah Aku mencecapnya? Ah tidak, Anila bukan gadis sembarangan, tetapi Aku tak mampu berhenti menatapnya. Ya Tuhan kenapa Aku ini, sebelumnya Aku tak pernah merasakan hal seperti ini. Tidak! Tuhan melarang keras perbuatan itu Bahari. Jaga pandanganmu. Ingat! Kau dengannya tidak memiliki hubungan apapun! Bahari membatin dengan keras. Ia akui, ini adalah kali pertamanya lagi setelah sekian lama tak merasakan perasaan ini.

Bahari menggelengkan kepalanya untuk segera mengusir pikiran kotornya. Ia berdeham sebelum berucap.

"Mau berapa lama Kau menikmati pelukanku?" sindir Bahari.

Anila terbelalak kaget, ia lupa kalau dirinya sedang berada dalam pelukan Bahari. Segera ia mendorong tubuh Bahari supaya berjarak dengannya.

"Salah sendiri karena menolongku.."

"Oh, jadi Kau lebih suka terjatuh dan merasakan sakit?" tanya Bahari meledek.

"Iya, lebih baik aku terjatuh daripada harus dipeluk-peluk olehmu. Hmm!" jawab Anila ketus sembari pergi meninggalkan Bahari. Baru juga beberapa langkah kaki, Ia kembali tersandung ranting pohon.

Bahari menyembunyikan tawanya, "makanya gunakan kaki saat berjalan, bukannya emosi."

"Mana ada berjalan menggunakan hati. Ri, tolong jernihkan pikiran kekanakkanmu itu," ia mendengus kasar.

KalbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang