"Rayuanmu murahan Ri. Itu sama sekali tidak mempan untuk merayuku."
"Itu bukan rayuan melainkan sebuah pujian."
"Mmm sudahlah lupakan, sebaiknya kita segera menyusul Mereka. Aku takut terjadi sesuatu." Pinta Anila.
"Tidak perlu khawatir toh mereka masih disana."
"Bahari.." rengek Anila.
"Apa?" Tanya Bahari keheranan.
"Kau menyebalkan!"
"Kita belum saling mengenal Anila. Bagaimana mungkin Kau tahu siapa diriku." Balas Bahari.
"Biarkan waktu yang memperkenalkanmu padaku Bahari. Karena terkadang perkenalan tidak harus berada diawal pertemuan." Jawab Anila sembari pergi berjalan kearah anak-anak.
"Jangan mengandalkan waktu Anila, karena kita tidak akan pernah tahu kapan tepatnya waktu akan merenggut segalanya."
"Ini tentang waktu Bahari, bukan hari esok maupun lusa. Jika Tuhan memberi jarak kehidupan dengan waktu maka cukup berikan aku ruang untuk melengkapinya. Layaknya gubuk ini yang menjadi saksi perkenalan antara diriku dengan mereka, begitupun Kau."
Bahari diam menimang jawaban atas pertanyaan dirinya, lagi-lagi Ia dibuat bungkam oleh jawaban yang Anila lontarkan, meskipun bibirnya ingin berucap namun hatinya tetap membisu.
Bahari segera menyusul kepergian Anila dan ikut berkumpul bersama anak-anak lainnya.
Ruangan berukuran sedang itu terasa sangat ramai dipenuhi dengan gelak tawa anak – anak yang saling menyahut satu sama lain. Saling menyombongkan diri, membandingkan siapakah hewan peliharaan yang paling pintar dan menggemaskan.
Dayam, gadis kecil itu tak henti – hentinya berteriak bahwa peliharaan miliknya adalah yang paling cantik. Ia terus mengoceh bahwa kucingnya itu sangat manja. "Lihat, Mao sungguh menggemaskan.." Ucapnya sembari menggendong Mao ke dalam pelukannnya. "Tidak! Yang lucu itu Kad, kadal milikku. Ekornya mampu bergerak ke arah kanan dan kiri secara terus-menerus, terlihat seperti sedang menyapu lantai."
Udin mengajak semua kawannya agar berkumpul dan memperhatikan buntut Kad dengan seksama. Dengan perlahan anak – anak berkumpul mengitari Udin yang sibuk menunjuk kearah peliharaannya. Cendayam yang awalnya menggendong Mao pun teralihkan hingga akhirnya kucingnya lepas dan kabur dari jangkauannya.
Kus juga ingin ikut melihat buntut Kad, tetapi Ia kebingungan bagaimana caranya agar sangkar kecilnya terus berada disampingnya jika ukuran lingkaran perkumpulan teman – temannya yang sedang asik menyaksikan Kad itu sangatlah tidak mungkin bila dimasuki oleh Kus dan sangkar miliknya. Akhirnya ia mengurungkan niatnya dan tetap diam duduk sambil terus mengajak berbicara kearah burung merpatinya.
Bil yang sejak tadi memperhatikan awal pergerakan buntut Kad hingga akhir pergerakan buntutnya pun mulai jengah dan bosan. "Sayang, kadal itu hanya bisa menggerakkan buntutnya saja. Belalangku lebih hebat, ia bisa terbang dan hinggap dimana pun ia mau." Bil berjalan menjauhi kerumunan dan mendekat kearah bangku kosong disamping Mul. Udin yang tidak terima bahwa kadalnya itu telah diolok pun marah, dan bangkit menghampiri Bil. "Tapi Kad hewan yang cukup setia pada pasangannya!" Udin menyombongkan diri dihadapan Bil. "Belalangku tak kalah setia–"
Bil seketika menghentikan ucapannya, Udin mengurungkan niat awalnya yang ingin mendekat kearah Bil. Semua anak segera duduk manis di bangkunya masing – masing. Anila segera masuk ke dalam kelas dan mengucapkan salam.
"Pagi Kak Angiiin!" Sambut anak – anak dengan meriah.
Bahari segera menyusul masuk ke dalam sembari merapikan pakaiannya yang sedikit kusut. Ia berdiri tepat disamping Anila. "Haiii.." Bahari melambaikan tangan seperti menyapa mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kalbu
RomanceWaktu akan terus bergerak. Tak mungkin berhenti, apalagi mundur. Lebih-lebih tak mampu kembali memutar ulang memori serta peristiwa yang telah lalu. Tapi, bolehkah jika Bahari mengharap sedikit keajaiban di dalam hidupnya? Meskipun ini terdengar tak...