Yang Hilang Pt.1

580 81 15
                                    

Berbagai jalan kutempuh, berkali-kali memutar arah, mengelilingi jalan, mencari jalur lain yang tak ditutupi kerumunan mayat berjalan. Beruntung, motor yang aku ambil bukan motor berknalpot bising. Sialnya, lika-liku yang harus dilalui membuat motor ini kehabisan bensin, dan tempat tujuanku masih jauh dari sini.

"Bu...?" panggilku.
Ibu tak membalas, kepalanya menunduk, ditutupi oleh kedua tangannya.

"Bu? Ayo bu, udah gabisa jalan lagi motornya."
Ia tampak layu dan shock, aku khawatir jika dia kehilangan semangat hidupnya.

"Bu, aku tau ibu kaget, sakit... Iya sakit, aku juga sakit nerimanya, tapi sekarang gada waktu buat nyeselin yang udah kejadian. Aku juga lemes bu, mau nangis juga dari tadi, gimanapun dia tetep ade aku, 8 tahun sering main sama aku... Bu ayo bu please, aku gamau kehilangan keluarga terakhir aku," ujar ku.
Ibu mulai terbangun, ia menatapku dengan tatapan kosong dan mata yang lebam.

Begitu ia turun dari motor, ibu langsung memelukku. Tak lama kita berpelukan, aku langsung mengajaknya untuk pergi dari sini. Kaki Ibu yang masih nyeri memperlambat gerakan kita, aku harus membopong tangannya di pundak.

Gumprang! 
Suara kaca-kaca yang dipecahkan oleh orang-orang. 

Jalan tempat kami berhenti relatif aman dari mayat hidup, tapi mungkin tidak untuk lama. Orang-orang menjarah bangunan-bangunan di sekitar kami, sulit sekali mencari bangunan yang masih tertutup dan aman.

"Orang masih aja nyuri, apa gak tau apa yang bakal mereka hadapin? Ga bakal berguna itu tv, kipas, kulkas,"
keluhku.

Aku lalu bertanya pada Ibu, "Bu gimana ini bu? Ga ada yang aman."

"Istirahat dulu aja di situ Ri, gapapa di halaman aja kan ada tenda itu."
Ibu menunjuk sebuah tenda di depan sebuah ruko.

Kami berjalan ke sana, aku membantu ibu untuk duduk dan melihat sekitar.
"Bu, liat tuh... Ruko di sebrang ketutup gitu," ujarku.

Ibu melihat ke arah yang aku tunjuk. Ia membalas, "Kacanya pecah semua gitu Ri."

"Kacanya doang, itu pintunya masih utuh."

"Yaudah ayo kita ke situ,"
jawab ibu.

Kita menyebrangi jalan, menuju ruko di sebrang kami. Tanpa melihat-lihat lewat jendela terlebih dahulu, aku langsung mendorong pintu itu.

"HEI! MAU APA KAMU!" bentak seorang pria.
Ia tampak berumur tiga puluhan tahun yang mengangkat sebilah clurit ke arahku.

"Maaf! Maaf mas! Kita ga maksud!"
Jawab ibu yang terkejut.

"IBU SAYA TERLUKA! TURUNIN ITU CLURIT!"
Teriakku membalasnya.

"GA BISA! KELUAR KALIAN! KITA GA NERIMA ORANG!" balas pria itu.

"HEI! HEI!"
Seorang lelaki lain berumur lima puluhan tahun, berusaha menghentikan pertikaian.

"Woy! Udah mas udah!"
Sahut lelaki lain yang umurnya nampak masih berkepala dua.
"Tenang dong mas! Itu ibu-ibu kasian!" tegurnya.

Beberapa orang lain muncul, dan memenuhi pintu masuk bangunan ini.

"Udah udah masuk aja bu, mas gapapa,"
kata lelaki berumur lima puluhan tadi.

Ketegangan mulai mereda. Beberapa anak seumuran Selly menghampiri, dan mempersilahkan kami masuk.

"Ibu kenapa?"
tanya salah seorang perempuan. Ia adalah satu dari dua perempuan seumuran Sely, satu lagi yang seumuran adalah laki-laki. Mereka mengenakan seragam serba putih.

"Ini kakinya... tadi terkilir pas lompat nak," terang ibu.

"Nama saya Ririn bu, ini Lutfhi dan ini Trisna, kita mahasiswa keperawatan kok tenang aja kita bantu ya."
Kata salah satu perempuan bernama Ririn.
Tubuhnya persis seperti Sely. Wajahnya pun mirip, putih, hidung mancung, alis lentik, bibir merona beserta lesung pipinya. Sumpah, dia mirip dengan Sely, bedanya Sely tak berkerudung. Melihatnya membuat otakku terus memikirkan nasib adik perempuanku itu. Sementara Trisna sedikit agak gemuk, dan Luthfie tampak jelas model laki-laki keperawatan yang rapih. Ah, baik sekali mereka.

Era Yang MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang