14 Hari Pt.2

61 13 0
                                    

Sely

Raungan gerombolan recs semakin terdengar dari arah barat, kami mempercepat gerakan kami. Aku baru saja mengoper tasku yang kini menjadi dua; tas ransel dan tas selempang, kepada Aldi dan Arfan yang tengah memasukan barang-barang ke ruang belakang mobil kapsul ini.

(Bunyi mesin mobil menyala)

"Ayo, cepet udah kedengeran tuh raungan gerombolannya! Masa masukin barang-barang aja lama?" Tegur Ayah dari bangku pengemudi.

"Padahal yang bikin lama dan berat ini nih." Keluh Dinda dengan suara pelan, tangannya menggebuk dus milik Ayah. Ia pun gantian mengoper tasnya pada Aldi.

"Emang, bawel banget kaya gak sadar dus gak berguna dia bikin sempit, dan jadi lama atur space di belakang..." balasku. Fitri menyusul di belakang Dinda, hendak mengoper tasnya juga.

(Bunyi tas yang dilempar ke tumpukan)

Fitri melewati Aldi, berjalan langsung di antara Aldi dan Arfan, lalu melempar tasnya ke tumpukan. Aldi menggelengkan kepala dan mengangkat kedua tangannya, kala Fitri dengan sengaja mengabaikannya. Tak ada komentar apapun yang keluar dari mulut mereka, Fitri pun langsung masuk ke mobil.

Tak membutuhkan waktu lama untuk kami berangkat, setelah semua barang diangkut dengan aman. Mobil Ari berada di depan mobilku, kami berpacu dalam kecepatan sekitar 40-50 kmpj, berkelok-kelok menembus kendaraan-kendaraan yang terbengkalai di jalan raya penghubung dua kota ini.

Setelah beberapa puluh menit, kami melewati sebuah lahan pertanian yang luas. Di sana, kami dapat melihat jelas kepulan asap hitam pekat yang menjamur ke angkasa. Puluhan recs yang bukan dari bagian gerombolan tadi juga tampak sedang berjalan di sawah, menuju titik jatuh pesawat.

Perjalanan kembali menuju kota Cianjur ini cukup membosankan bagiku. Terlebih, setelah lima hari terakhir terbiasa lagi dengan permainan yang ada di gadget. Aku pun mengambil ponsel jarahanku beserta sepasang earphone nirkabel dari kantong, lalu mengaktifkan dayanya. Telingaku rasanya ingin diisi oleh lantunan musik yang indah, ketimbang diisi suara mesin mobil yang tengah dipacu, nafas orang-orang di dalamnya, serta kehampaan di luar sana. Kami juga menjarah laptop yang berisi ribuan megabyte lagu dari segala generasi, dan genre. Entah, siapa yang masih mengalokasikan beberapa giga dari harddisk-nya hanya untuk file lagu di tahun 2023... Tapi siapapun orangnya, dia menyelamatkan kami dari kepunahan lagu yang sebagian besar sudah berbasis aplikasi online.

Saat aku hendak memutar lagu, aku menoleh ke sebelah kiri. Fitri sedang bersandar di jendela, kedua matanya menatap ke luar jendela, kepalan tangan menyanggah pipinya. Dengkulku menyenggol pahanya, ia pun memandangku tanpa mengucap kata. Aku lalu membuka aplikasi pencatat di ponsel, lalu mulai mengetik.

"You wanna tell me what r u going thru? What are u so mad abt? You can't distance ur self from the group, Fit." (Kamu mau omongin apa yang sedang kamu lalui? Apa yang bikin kamu marah banget? Kamu tidak bisa menjauhi diri dari yang lain.) tulisku.

Fitri seperti menjaga jarak dari semua orang belakangan ini, ia tak banyak bicara kecuali pada Arfan. Bahkan Dinda yang sebelumnya begitu akrab pun jadi seperti sebal dengan dirinya. Ia membaca tulisan di ponselku setelah aku tunjukan layar ke arahnya. Fitri mengulurkan tangan kanannya padaku, aku pun mengoper ponselku padanya.

"A lot. Nanti gue ceritain kalau berdua aja. Makasih, udah nyoba ngerti."
Tulisnya di bawah tulisanku.

***

(Bunyi pintu-pintu mobil tertutup)

"Beep! Beep!"

Kami memandang ke mobil Ari, yang baru saja berdering klaksonnya di tangan Wisnu.

Era Yang MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang