CHAPTER I: Beginning of an End

894 76 26
                                    

Beep! Beep Beep!
Suara klakson memecah riuh antrean kendaraan, yang sama sekali terhenti.

"Mohon untuk masyarakat memberikan jalan! Ayo dimohon bantuannya! Kondisi darurat!"
suara dengan nada sedikit panik dari Megaphone ku dengar. Bersamaan dengan nyaring sirine yang keras.

"Yah? Itu mobil tentaranya kenapa?" tanya Aji.

"Kurang tau Ji, kayanya mulai ga bener nih... Aduh kapan ini jalannya," jawab Ayah.

"Yah Aji takut...."

"Tenang ya Ji ya kalo ada apa-apa kan ada mamah sama kak Sely, jangan pernah lepas dari kita ya!"

Aji adalah Adik laki-lakiku, umurnya masih delapan tahun. Kami sedang berada di dalam mobil, berusaha meninggalkan kota laknat ini.

Menyertai Aji, ada Sely, Adik perempuanku yang lebih tua dari Aji. Umur Sely hanya beda tiga tahun dariku, kami berdua telah duduk di bangku perkuliahan. Terakhir, ada Ibu. Melani namanya, ia adalah manajer kantor cabang pembantu sebuah bank swasta di daerah Cikini.

Kabut kepanikan nampak mengelilingi mereka, ketika para tentara mulai menyebut keadaan darurat. Kami sudah terjebak kemacetan di dalam tol Pasar Rebo, Jakarta Timur sejak dua jam tadi dan hanya maju kurang dari 100 meter.

Aku? Tetap scroll Twitter mencari perkembangan up-to-date evakuasi skala besar Jakarta Raya, serta kota-kota lain di negeri ini maupun luar.

"Ri! Masih aja kamu main HP?"-tegur Ayah-"Itu lihat sekitar."
Aku biasa dipanggil Ari. Laki-laki dua puluh dua tahun, yang masih terjebak di tingkat akhir perkuliahan.

Agak kesal dengar teguran itu, sepertinya jika aku yang memantau perkembangan situasi tak berguna di baginya. Bibirku hendak mengeja balasan, namun tiba-tiba sebuah helikopter serbu jenis Apache, terbang rendah dan menetap tepat di atas mobil kami. Sementara iring-iringan kendaraan tempur TNI tadi, masih terjebak kemacetan tak jauh dari pintu keluar tol.

"Yah? Bawa senjata lengkap itu heli," ujarku.
Ayah terpelongo dengan wajah panik, melihat helikopter bersenjata lengkap terbang statik di atas kami. Moncong helikopter itu mengarah tepat ke RSUD Pasar Rebo, yang terletak di barat laut kami.

"Yah?"–Ibu memeluk kepala Aji, tangannya menggenggam lengan Sely–"Yah udah kita keluar aja... Yah! Keluar aja kita, lari!"

Ibu dan Sely telah melampaui panik, sementara Aji bisu ketakutan, dan bersembunyi di balik pelukan Ibu.

"Keluar mau kemana! Mau lari kemana! Mau jalan kita sampe ketemu hutan?!" balas Ayah.

Mobil-mobil di depan kami mulai bergerak, dan Ayah sontak menginjak gas, meski tetap berada di bawah kecepatan 50 Kilometer per jam (Kmpj).

Baru sekitar 400 meter dari tempat kami terhenti tadi, suara sangat keras terdengar dari belakang mobil kami.

Dag! Dag! Dag! Dag! Dag! Dag!
Bunyi rentetan meriam, diikuti dengan suara ledakan beruntun dari arah barat laut.

Blar! Blar! Blar!
Suara itu begitu keras, kaca mobil kami bergetar hebat. Pengendara mobil di jalan tol pun terdampak panik, dalam lima detik lebih dari 20 mobil saling bertabrakan.

Begitupula mobil kami yang tertabrak dari sisi kanan belakang. Adrenalinku terpompa, bagaimana tidak? Mobil kami hampir kehilangan kendali, dan helikopter tadi benar-benar melontarkan tembakan berkali-kali ke arah rumah sakit.

"Yah cepet maju yah!" Ujar Ibu, suaranya dipenuhi ketakutan.

Ayah diam seribu bahasa, pandangannya fokus ke jalanan, berusaha menghindari mobil-mobil lain. Pengendara lain pun melaju cepat, saling menyalip di antara mobil yang terhenti akibat tabrakan.

Era Yang MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang