Yang Hilang Pt.2

389 67 10
                                    

Aku yang sebelumnya terlelap, terbangun ketika ada orang yang menarikku secara paksa. Aku membuka mata ku dan melihat Ibu sedang diseret dan dibekap oleh seseorang.

Pengelihatan ku kembali sepenuhnya, aku dan Ibu diseret ke arah pintu oleh Beno dan Lukman, mereka berdua memegang clurit.

Aku melawan, dengan cepat aku menyikut dengkul Lukman yang menarikku.

Brak!

Ia terjatuh, bunyinya terdengar semua orang di dalam lantai ini. Clurit dari tangan Lukman kurebut, lalu ancang-ancang untuk menyerang Beno segera kupasang.

"BAJINGAN! Lepasin dia!" hardikku.

Semua orang terbangun dan mengerumuni kami.
"ADA APA INI?!"
Pekik Gongon dengan nada tinggi.

Baron tiba-tiba berlari ke arah Beno, dan merebut cluritnya. Aku segera menghampiri Beno, lalu memukulnya sekeras tenaga di area mata hingga ia terjatuh.

"HEI! UDAH! BERHENTI!"
tegas Gongon.

Beno segera bangun, ia memaki-maki.
"BANGSAT!"–ia memegangi mata kirinya–
"UDAH CUKUP SEKALI AJA GUA NOLONGIN ORANG! KALIAN TAU APA JADINYA KALO NYELAMATIN ORANG GA DIKENAL KAYA GINI? MATI! KAYA ANAK, ISTRI GUA! MATI!"

"BENO! CUKUP!"
tegas Gongon.

"Istri saya! Anak saya! Mati! Karena nyelamatin orang! Kita bawa masuk orang ga dikenal yang butuh bantuan semalem, pas saya bangun dia... Dia udah makanin anak istri saya dalam tidurnya... Istri saya... Jadi monster, di hadapan saya! Mau kalian itu terjadi sama kalian?"
Beno berlutut, suaranya memudar, matanya tak bisa menahan air mata.
Kini aku paham, kenapa dia bersikap seperti ini. Tapi, Ibu tetap saja Ibuku.

"Kalian mending pergi aja dari sini!"
Usir Lukman yang dibantu berdiri oleh anak dan istrinya.

"Iya! Oke! Udah cukup. Kita pergi sekarang juga!"
Balasku yang tak tahan melihat kejadian tadi.

Baron dan Reka menatapku, mereka tau bahwa aku serius, mereka pun segera menyiapkan barang masing-masing.

Aku menghampiri Ibu,
"Ibu gapapa?"

"Gapapa Ri... Kaki Ibu juga udah mendingan kayanya, cuma sakit kalau terlalu ditekuk aja," 
jawabnya.

"Reka sama Baron bakal ikut sama kita, itu udah pilihan mereka. Kita mau ke Sukabumi, kalian yang mau ikut kita boleh gabung," ujarku.
Aku segera membereskan barang-barangku.

Pukul enam pagi, kami telah siap untuk pergi. Aku, Ibu, Reka dan Baron berpamitan, serta berterima kasih ke pak Gongon. Sofa yang menghalangi pintu digeser, dan aku membuka pintu untuk melangkah keluar.

Saat aku menuntun Ibu untuk menuruni tangga, aku melihat ekspresi yang sama seperti kemarin. Aku menoleh ke jalan raya, ribuan mayat hidup telah memenuhi jalanan. Beberapa mayat hidup menolehkan kepalanya yang tertunduk, secara perlahan ke arah kami dengan tatapan mengerikan. Dari jauh mata mereka seperti tak memiliki pupil dan retina lagi, hanya bola mata kosong, kulit mereka pucat dengan garis-garis keunguan.

Bulu kudukku sontak berdiri total melihat tatapan itu.
"Mampus anjing!"
Makiku pada diri sendiri, lalu menutup kembali pintu hingga tertutup rapat.

"Lemari, sofa, semua bawa kesini! Blok pintunya!"
Saranku dengan suara dipelankan, meski sesungguhnya panik setengah mati. Mayat hidup itu berbondong-bondong menuju ruko ini.

"Jendela, jendela! Tutup rapat semua!"–perintah Gongon sambil mengangkat sebuah laci bersama anak laki-laki Lukman–"Semuanya naik ke lantai dua ayo cepet!"
Imbuhnya.

"Ini semua gara-gara kamu!"–omel Lukman sembari menuntun anak perempuan kecilnya menaiki tangga–"Kita mati gara-gara kamu! Anjing-anjing kaya kamu harusnya mati di jalan gausah bawa-bawa kita!"
Ia sungguh mengutuk kehadiran aku dan Ibu.

Era Yang MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang