Truth May Hurt Pt. 1

258 34 19
                                    

Sely

Perlahan, kami berjalan keluar dari rindangnya pepohonan, menuju mobil kami. Api berkobar dari dalam mobil dan mengeluarkan asap pekat, sementara seluruh bagian luarnya telah menghitam.

"Gimana cara kita pergi nanti," pikirku.
Sepertinya polisi yang dikirim untuk mengejar warga, sengaja membakar seluruh kendaraan yang terparkir di jalan. Sebuah upaya bumi hangus, agar kami terjebak di sini.

Kami berjalan dengan lunglai, hasil dari kelelahan berlari, bergerak kesana kemari menghindari para polisi. Jam tanganku kini menunjukan pukul 10:00, terik matahari yang bercampur dengan panasnya residu pertempuran, melelehkan keringat  dari poriku. Bau gosong yang menyengat pun memperburuk suasana di sini.

Ibu tiba-tiba tersenyum, ia lantas mempercepat gerak kakinya. Aku menoleh ke arah pandangan Ibu, Ari dengan tubuhnya yang kusam berdiri di dekat sebuah pohon rindang, sebuah senyuman haru menempel di wajahnya.

Aku turut menghampiri mereka, seraya Ibu memeluk Ari. Ari memandangku, lalu membuka tangan kananny, mengundangku ke dalam pelukan, yang segeraku terima.

"Kapan terakhir kita pelukan begini?"
Pikirku, mengingat seberapa lama kami bertiga sudah tak sedekat ini.
Mungkin salah satu keindahan yang timbul dari kekacauan ini, ialah kembali menyadari seberapa berharganya sesuatu yang tak lekang dalam waktu: keluarga.

"Bener deh kata Baron..."
kata Ari.

Ibu memandangnya,
"Kenapa?"

"Kayanya kita dapat banyak keberuntungan hari ini... Gak ada satupun dari kita yang harus setor nyawa... "–Ari melepas pelukannya–"Oh iya, kita menang,"
tambah Ari.

Ibu mengusap wajah Ari dan aku, kedua ujung bibirnya terangkat menampilkan gigi putihnya. Sebuah analogi syukur untuk keselamatan kami dari pertempuran, sekaligus tiran.

"Tapi, dia juga bilang ini mungkin kartu keberuntungan kita,"
tambah Ari.

"Uhm, oke. Yang itu gak aku anggap." Balasku, berusaha optimis.

"Hehe, yaudah... Semoga aja alam gak anggap omongan Baron juga,–Ari melangkah kebelakang, sambil menggerakan kepalanya sebagai ajakan–"Jadi... Dari satu sampai lima, seberapa gak apa-apa kalian?"
celoteh Ari.

"Dua setengah?" balasku.

"Maaf, gak setuju."
Sahut Reka yang menyusul kami bersama Dinda dan Fitri.

"Berapa dong?"
tanya Ari.

"Bisa minus gak?"
Balas Reka dengan nada satirikal khasnya, dan minim ekspresi.

"Hm... Bisa aja kalo mau. Tapi gak usah gue tanya angkanya kali ya? Soalnya gue percaya, gak akan lama minusnya,"
jawab Ari.

"Gak yakin...."
Sahut Fitri sambil menoleh ke mobil kami yang telah hangus, kedua tangannya di lipat di atas perut.

"Kitta bakal selalu ketemu jalan lain, gak perlu yakin atau gak yakin dulu sama apapun."
Sahut Ibu dengan positif.

Orang-orang di sekitar kami tengah bergotong royong, membangun kemah-kemah baru di atas puing-puing pertempuran. Sebagian orang menebang pohon di sekitar, untuk membangun hunian semi-tetap.

Empat jam telah berlalu, tak terdengar lagi bunyi tembakan. Entah kemana sisa polisi pergi... Yang pasti opsi mereka antara lari, atau dibasmi. Aku agak heran kenapa kami tetap bertahan di luar, jika benteng polisi memang sudah terebut.
"Mungkin rusak parah dan perlu diperbaiki dulu kali ya?"
Ujarku dalam hati.

"Mel!"
Aku menoleh ke asal suara panggilan.

Ayah berjalan menghampiri Ibu, yang segera menyambutnya dengan pelukan. Arfan dan Aldi pun ada di sini, dan langsung dihampiri Dinda dan Fitri dengan wajah lega. Keempat bersaudara itu segera saling merangkul dalam lingkaran.

Era Yang MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang