By The Fire

62 14 4
                                    

Ari

Waktu kian berlalu, jam tanganku kini menunjukan pukul 04:15. Tak lama lagi, mentari akan menggantikan api dari barat daya ini dalam menerangi hari. Kami telah melampaui kota Cianjur, dan sedang menyusuri jalan nasional yang menghubungkan dua kota. Jalan di sini mulai padat, tak seperti di kota Cianjur yang kini menjadi kota mati, secara harfiah. Di kedua sisi jalan dipenuhi oleh mobil yang ditinggal begitu saja dengan pintu terbuka, dan semuanya mengarah ke kota Sukabumi. Tampaknya, semua orang mencoba masuk dan tak ada satupun orang yang ingin meninggalkan kota pusat evakuasi tersebut. Hanya bagian tengah jalan yang kosong dan bisa kami tempuh, Wisnu bilang fungsinya untuk jalur kendaraan darurat.

"Menurut lo kenapa ini?" tanya Baron.

"Macet kali ya, antri panjang gini... Akhirnya pada frustasi, panik, terus jalan kaki deh. Kita udah hampir 1 kilometer loh ini, gak abis-abis antrian yang mau masuk Sukabumi," tebakku.

"Gimana kalo... Ada gelombang recs dari Cianjur, terus mereka panik dan berhamburan keluar?" sahut Reka. "Duh, maaf ya Bar... Abis kaya di film-film sih kalo liat kaya begini."

"Kalo karena recs, kenapa gak ada mobil yang berantakan? Maksud gue, kenapa gak pada nyoba berhamburan keluar jalan aspal dulu pake mobil? Ini rapih gini loh antriannya," terka Baron.
"By the way... Iya santai Rek, inget yang tadi gue bilang."

"Kriit!"
Wisnu menginjak penuh rem secara tiba-tiba, efek inersianya mendorong tubuh kami ke depan.

"Aduh! Kenapa?" Tanyaku yang terkejut, aku sedang menoleh ke belakang dan berbincang kala ia menginjak pedal rem.

"Oh... Crap," keluh Baron.

"Jangan liat... Jangan liat...." Oceh Wisnu, melihat apa yang ada di depan kami.
"Aaah sial! Senjata, senjata! Siapin semua senjata!" perintahnya.

*****

Sely

"E-eh!"

"Dug!"
Ibu membentur dasbor mobil, beruntung sikut kanannya melindungi kepala. Seisi mobil pun terdorong ke depan, kala Ayah menginjak rem secara mendadak.

"Bikin celaka banget sih ngeremnya si Wisnu?" omel Ayah.

Semakin mendekat ke Sukabumi, semakin tebal pula kabut asap asap kebakaran besar yang sedang kami hampiri. Jarak pandang yang pendek, memaksa Ayah untuk bereaksi cepat saat mobil yang ditumpangi Ari berhenti mendadak. Sangat sulit untuk melihat apa yang ada di depan mobil Ari, bahkan mobilnya pun terkadang tampak seperti siluet dari sudut pandang kami.

"Udah tau asepnya tebel begini... Padahal udah dikasih tau, nyalain aja lampunya kalo udah deket ke titik api. Tapi pada ngey-" Oceh Ayah yang kemudian terhenti.

"Ya ampun... Rom? Gi- Gimana ini." Ucap Ibu dengan terbata-bata.

Kabut asap di depan kami perlahan memudar, siluet puluhan tubuh dan kepala yang memadati jalan mulai tampak. Semakin tipis kabut, semakin banyak siluet yang terlihat... Kami berada tepat di belakang gelombang besar recs.

"Enggak lagi..." pikirku.

Aku menoleh ke samping kanan tempat Dinda dan Fitri duduk bersamaku, mata mereka terbuka lebar dan terpaku ke depan. Tangan Fitri menggenggam erat sandaran kursi pengemudi, wajahnya seakan ingin merintih. Dinda menyadari itu, lalu segera merangkul kepala Fitri ke pundaknya. Aku mengalihkan pandangan ke depan, dan melihat Ibu baru saja memasang sabuk pengamannya, lalu telapak tangannya yang tersisa menggenggam paha Ayah.

"I-ini... Kita kejebak?" tanya Dinda.

"Gaak. Gak lagi," jawab Ayah.

"Aduh, Rom keluarnya gimana ini? Kebelakang juga gak keliatan." Kata Ibu sambil menoleh ke bagian belakang mobil.

Era Yang MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang