Malaikat Maut Pt.2

57 12 0
                                    


Sely

(Bunyi gemuruh petir)

"Dia orangnya." Ujar salah satu dari mereka, memecah kesunyian sesaat.

"Iya betul tulang, mereka bertiga ada di lokasi waktu motor kita diambil. Berarti tinggal dia toh tersangkanya?" (Paman,) sambung yang lain.

"Yakin kau lae?" tanya Matias.

Ketiga orang yang baru saja menghajar Wisnu itu mengangguk, pandangan Matias pun mengarah pada Ayah. Wajah Ayah tak terlihat takut sama sekali, kedua matanya terbuka lebar dan memandang balik Matias, pergelangan tangannya pun menggenggam erat senapan rampasannya.

"Ho-ho-ho, kita punya pembunuh di sini...." Ejek Matias, sambil mendekati Ayah.
"Dan kelihatannya dia siap membunuh lagi, tanpa ada keraguan, tanpa ada penyesalan. Kau mau bunuh siapa? Saya?" Ucapnya, saling menatap dengan Ayah dari jarak dekat.

"Ya, kalau perlu." Balas Ayah.

"Waduh." Matias menjauh dari wajah Ayah dan memunggunginya.
"Dia bau alkohol juga ternyata! Jangan-jangan kau curi motor itu,"–Matias menunjuk motor curian Ayah yang terparkir di halaman rumah–"Karena tergiur isinya, ya? Hah? Memang dasar pemabuk kau ya!" bentaknya.

"Bukan urusan anda! Situ gak punya kuasa di sini, dan jangan coba-coba merasa begitu," balas Ayah.

"Ooh, tentu saja bukan urusan saya..."–Matias membalikan badannya–"KALAU KAU TAK BUNUH ORANG SAYA, BODAT!" Caci Matias tepat di depan wajah Ayah.
"Kau bunuh sahabat dan saudara mereka, kau biarkan mayatnya tergeletak di jalan sampai bangkit lagi. Demi sebuah motor dan alkohol... OTAK KAU DI MANA, MASIH PUNYA KEBERANIAN UNTUK BILANG BUKAN URUSAN KAMI?" tuturnya.

"Maaf, Pak... Suami saya emang lagi melalui fase yang berat buat di-"

"Haiish, sst. Cukup, Bu. Saya gak perlu pembelaan dari istrinya, dan saya gak minta kau bicara juga toh?" Potong Matias saat Ibu berbicara.
"Saya juga melalui masa-masa sulit demi bangun apa yang kami punya sekarang... Memangnya mudah meyakinkan orang lain di hari kiamat buat bekerja sama, untuk bangun dunia kami sendiri? Semua yang anda lihat, dan semua orang yang hidup di sini, semuanya berkat jerih payah saya ketika segalanya runtuh! Tiga minggu kami berdiri di bawah komando saya, berbagai macam orang dari berbagai daerah sudah kami temui, beratus-ratus barang sudah kami tukar. Semuanya lancar-lancar saja, sampai anda muncul di sini. Saya tak akan biarkan hewan liar seperti anda berkeliaran, dan merusak apa yang telah saya bangun..." terang Matias.
Wajah Ayah semakin dipenuhi amarah, aku dapat melihat dadanya mengembang kempis tak karuan, memompa nafas begitu cepat tatkala darah dalam tubuhnya memanas.

"Untuk kekacauan yang telah kau buat, perlu ada imbalannya... Kalau dalam hukum saja pembunuh dan pencuri mendapat hukuman berat, begitupula seharusnya di dunia kami," ujar Matias.
Baron dan Ari pun mendekat, diikuti anggota Matias yang ramai-ramai menyusul.

"DUAR!"
Sebuah petir menyambar tiang listrik di ujung jalan, membuat kami semua menunduk dan menutup telinga.

"JANGAN!" Jerit Ari, kala Ayah tiba-tiba membidik senapannya ke kepala Matias.
Ari menggenggam senapan yang di genggam Ayah, mendorong bidikannya ke bawah.

"Dar! Dar! Dzing!"
Aku, Dinda, dan Fitri berlari menjauh, peluru senapan menghantam tanah di depan kami dan terpantul.

"AARGH BAJINGAN KAU!" Geram salah satu dari tiga orang penghajar Wisnu, sementara ia berlari kencang ke arah Ayah.

"BRUG!"
Lelaki itu menubruk Ayah dan Ari, menjatuhkan keduanya. Ia pun berebut senapan yang digenggam Ayah, sementara Ibu menarik tubuh Ari dengan satu tangan. Keduanya saling berteriak, beradu tenaga dalam perebutan senapan.

Era Yang MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang