Dead End

103 15 1
                                    

Ari

(Bunyi mesin motor kapal yang melambat)

"Jangan coba macam-macam, kami bersenjata!" ucap Ayah.
Ia membuka percakapan sesaat setelah kapal itu melambat dan mendekati tepi sungai, moncong senapannya mengarah ke siluet orang-orang di atas kapal.

"Euh sia... Sugan teh hayang dibantosan." (Kirain butuh bantuan.) Balas sosok lelaki di kapal.

"Mu-muhun Pak, kami butuh tumpangan," sahut Reka.
"Kami udah jalan jauh dan gak ada kendaraan... Kasihan ini liat ada Ibu yang tangannya kepotong, udah capek juga semuanya."

"Ooh hayu atuh neng naik," balas lelaki itu.
Kapal yang ia kemudikan pun segera menepi. Tak memakan banyak waktu untuk Reka dan Baron naik ke kapal itu, sementara beberapa dari kami masih agak ragu.
"Enggal, bade angkat yeuh!" (Cepat, mau jalan nih!) Tegur lelaki yang mengemudikan kapal.
Ia berselancar di kapal kayu bersama sesosok lelaki lain yang lebih muda darinya yang berwajah umur pertengahan.

Goyangan kecil pada kapal terasa kala kami menaiki kapal ini bergantian, dan agak tergesa. Aku pun melangkah naik setelah membantu Sely naik.
"Ayo! Kenapa pada bengong sih?" Tanyaku pada Dinda bersaudara, Ayah, Ibu, dan Wisnu yang belum naik.

"Kenapa harus buru-buru coba? Kita kan cape juga jalan jauh," keluh Aldi.

"Heh! Ttu liat aja sok kebelakang...." Ujar lelaki yang lebih muda dari pengemudi, jarinya menunjuk ke belakang kapal.

Kami menyorot senter kami bersamaan, mengiluminasi tepian sungai di belakang kami yang gelap gulita. Kerumunan recs rupanya sedang mengejar dari kedua sisi tepi sungai, jarak di antara mereka yang tak begitu padat membuat gerakan mereka lebih lincah.

"Ceuk urang ge enggal... Dasar pengungsi kota, suka banyak mengeluh," (Saya bilang juga cepat...) omel lelaki pengemudi.

"Eh tenang, tenang. Jangan lompat gitu ini kaya kelebihan kapasitas gini kapalnya," tegurku.
Keempat bersaudara ini menaiki kapal dengan lebih ceroboh dari aku, Sely, Reka, dan Baron. Aku tak mau giliran Ibu naik, kapal ini terombang-ambing dan bisa mencelakakan dia.

"Duuh... Cepet banget ngedeketnya. Tembak jangan?" Tanya Baron, ia mengarahkan senapan ke kerumunan recs di belakang kami.

"Nooo, tahan dulu... Nanti kita malah ngundang dari segala arah," balas Wisnu.
Sementara, aku dan Sely membantu Ibu naik ke kapal yang tak henti bergoyang, disusul Ayah, lalu WIsnu.

Pengemudi kapal segera mendorong tuas pegas ke depan, seraya mesin motor kapal mengeluarkan bunyi kencang dan kepulan asap putih, laju kapal yang sebelumnya statis pun bertambah.

"Ehm. Nembak gak nembak juga sebenernya sama aja sih," singgung Baron.
Suara mesin yang berisik tentu saja memancing recs yang berada di sekitar sungai, tempat dua orang asing ini berselancar dengan santai... Ya, menilai dari ekspresi wajah mereka.

"Kalian mau ke Sukabumi?" Tanya lelaki muda pada Reka.

"Iya... Kami udah gak punya kendaraan lagi dan gak tau jalan juga. Kalau kalian ini mau berlabuh di mana?" balas Reka.

"Oh kita mah gak sampe masuk Cianjur, neng... Desa kita sejam lagi juga sampai." Balas lelaki pengemudi.

"Ini juga sungainya gak sampai kota Cianjur, muter ke arah Bogor." Lanjut lelaki muda.

"Loh, terus kita gimana?" sahut Ibu.

"Ya... Kalau mau dianterin juga bisa sih." Jawab lelaki muda.

"Tapi, punten nya... Ada ongkos. Kan bahan bakar udah langka bener ini. Ya... barter aja lah sama makanan gitu, kalau ada mah." Lanjut lelaki pengemudi.
Kami saling menatap sekejap, mendengar tawaran sang nahkoda.

Era Yang MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang