Syifa menyusuri koridor dengan langkah santai. Fyuh! Ia merasa cukup lelah, dan masih merasa lelah telah membujuk Pa Satpam tadi. Ternyata, orang yang cerdik sangat diperlukan. Bukan untuk menipu orang, tapi untuk menyelamatkan diri.
Kerudungnya saat itu sudah tak beraturan. Bahkan sampai beberapa helai rambutnya keluar. Sepoi angin mengibarkan kerudung panjang putihnya. Sesekali ia memasuk-masukkan helaian rambutnya yang keluar. Memakai ciput pun serasa tak ada gunanya. Bagaimana tidak? Untuk apa Syifa memakai ciput, jika tetap saja rambutnya terlihat.
Saking sibuknya membenarkan kerudung, ia tak menyadari, jika dari arah yang berlawanan dengannya ada seorang lelaki yang juga tengah berjalan. Syifa sibuk dengan kerudungnya, sedangkan lelaki itu tengah fokus pada tumpukan buku di pelukannya yang sesekali merosot. Keduanya tak fokus pada jalannya masing-masing. Mereka fokus pada kesibukannya, sampai tak melihat lurus ke depan. Hingga...
Brukk...
Buku-buku yang dibawa lelaki itu berjatuhan ke bawah. Sedangkan untuk kedua kalinya Syifa tertusuk jarum. Kali ini jari tengahnya menitikkan darah. "Shh... aww!" ringisnya.
Lelaki itu membiarkan buku-bukunya berserakan; tak peduli. Ia lebih mementingkan keadaan Syifa. Terlebih, saat ia mengetahui, jika jari Syifa berdarah.
"Sorry, lo gapapa, kan?" Ah, sebenernya, ini adalah pertanyaan yang tak perlu dijawab lagi. Sudah jelas Syifa kesakitan. Tentu ada 'apa-apa', bukan 'gapapa' lagi.
"Gapapa gimana? Sakit tau! Udah gue telat, lo malah bikin gue tambah telat!" gerutu Syifa yang masih sibuk meniup-niup jarinya. "Sakit ih..."
Lelaki itu mengeluarkan selembar kain biru persegi dari saku seragamnya. "Nih, pake ini," tawarnya, sambil menundukkan bahunya, dan menyodorkan kain itu ke Syifa untuk mengelap darah yang tak berhenti keluar.
Syifa mendongakkan kepalanya, melihat saputangan biru. Dan dengan reflek tentu saja ia melihat wajah lelaki itu. Mereka kontak mata. Namun lelaki itu segera mengakhirinya. "Astagfirullah," dzikir lelaki itu.
Syifa bangkit dari duduknya yang diakibatkan terjatuh tadi. Ia menepuk-nepuk bagian roknya yang kotor. Ia menunduk. Walau memang ia belum sepenuhnya hijrah, tapi masalah menjaga pandangan, Uminya selalu mengajarkan.
"Sorry...," ucap lelaki itu lagi.
"Kalo benci, bilang! Emang gue ladang maksiat ya? Lo sampe bilang istigfar? Gue juga pengen hijrah, Ka. Gue juga bisa!" ucap Syifa.
"Gue udah mandang orang yang bukan mahram gue, makannya gue istigfar. Gue cowo, Fa. Mata gue susah buat ditahan. Maaf."
Sorry, gue udah suudzon, Ka Bagas. Gue kira lo benci, sampe bilang istigfar. Ternyata lo cuma mau ngejaga pandangan lo, batin Syifa sambil memejamkan matanya; merasa bersalah telah suudzon.
"Sorry udah ngejatuhin buku-bukunya." Syifa mengambil satu per satu buku yang berserakan di lantai.
"Biar gue aja. Gue tau lo telat, cepet ke kelas. Sekarang Bu Rina yang ngajar!" perintah lelaki itu tegas.
Kalo bukan karena gue buku-buku ini jatuh, mana mau gue bantuin lo, Ka, batin Syifa lagi.
Tanpa mencuri sedikitpun pandangan, Syifa melangkah pergi, meninggalkan lelaki yang dulu pernah singgah di hatinya itu sendirian mengambil buku-buku di lantai.
Bagas menatap kepergian Syifa. Semakin lama, maka akhirnya sosok Syifa menghilang karena berbelok arah menuju kelasnya. Maka, semakin lama, semakin hatinya harus ikhlas jika kelak akan kehilangan Syifa. Ah, itu bukan urusannya. Dia tak pernah tau, takdir yang seperti apa, yang Allah beri untuk mereka berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta dalam Hijrah #FJSTheWWG
Spiritual1#hijrahcinta "Ta-tapi, kenapa ka Azam memilih saya untuk dijadikan pendamping?" "Bukannya kakak tau, dulu sikapku pada kakak seperti apa?" lanjut Syifa. Azam terdiam sekejap. "Tapi itu dulu kan?" tanyanya singkat. "Dan masa laluku sangatlah buruk...