Bab21 | Alasan Hijrah...

4.5K 426 15
                                    

Hijrah ya hijrah, jangan beralasan belum siap. Kalo kaya gitu, kapan siapnya?
.
Ga ada hidayah? Ya kejar. Mau nunggu hidayah? Percuma. Hidayah tu dikejar, bukan ditunggu!!!
.
Kalo nunggu hidayah, mau sampe kapan? Kalo ajal duluan yang dateng, gimana? Makannya, hidayah tu ya dikejar!
.

Pada hakikatnya, hijrah itu berpindah. Kita melangkah sedikitpun udah bisa dikatakan hijrah. Ia berpindah, bukan? Begitupun dengan sikap. Ada 1% pun sikap kita yang berubah, itu bisa dikatakan hijrah. Toh, dia telah memindahkan sedikit sikapnya pada sikap yang berbeda. Namun, perubahan dalam hijrah ini berarti berubah pada yang baik. Memang, dalam segala hal itu perlu proses. Dan kita akan menemukan, bagaimana rasanya terjatuh, tersungkur, lelah dan rumitnya berproses. Kita tak boleh berputus asa menghadapinya, karena proses itulah yang akan menjadi pengalaman yang paling tak terlupakan di hari nanti. Di hari kita memetik hasil atas usaha kita berproses.

Sama halnya seperti Syifa. Dia memang sudah berubah dari segi penampilan, tapi bukan berarti sikapnya juga berubah. Namun setidaknya, dia telah melaksanakan yang wajib, yaitu menutup aurat.

Jika menunggu diri dan hatinya baik dulu, mau kapan nutup aurat? Gak takut, kalo ternyata kain kafan duluan yang nutup aurat kamu?

Begitulah pesan singkat yang di kirim via WA oleh Azam kemarin, saat Syifa bertanya-tanya perihal hijrah.

Syifa paham. Kini, biarlah sikapnya berubah seiring dengan berjalannya waktu dan takdir dari-Nya. Karena, sikap setiap orang itu adalah karakter kita; yang membedakan setiap orangnya. Biasanya itu bersifat pewarisan dari orang tua, sehingga ia melekat pada diri seseorang. Memperbaiki diri dan memilih calon yang baik ternyata itu adalah langkah pertama, jika kita akan membangun sebuah rumah tangga. Karena itu akan berpengaruh pada keturunan kita kelak.

"Gue nutup aurat atau nutup aurat, bukan karena pengen keliatan baik. Toh, sekeliatannya gue baik juga bakal ketutupin sama sikap gue yang amburadul," jawab Syifa saat ditanya oleh Ilham mengenai perubahan drastis penampilannya.

Ilham mengernyitkan dahinya bingung, sambil melahap sebutir anggur. Saat itu mereka ada di ruang keluarga. Ilham, ibarat tengah mengintrogasi Syifa, sampai TV pun menyala teranggurkan. "Terus, gak ujan, gak panas, gak ada angin, kenapa lo tiba-tiba mau nutup aurat? Gue gak nanya alasan secara umumnya. Tapi gue mau tau alasan lo!"

Waktu berdetik. Jarum panjang tidak tinggal diam. Dia bergerak tanpa disertai dengan jawaban Syifa. Ia tak kunjung menjawab. Yang dilihat Ilham saat itu, Syifa justru malah menunduk. Seperti tengah memikirkan sesuatu. Syifa menunduk semakin dalam. Ilham memiringkan kepalanya untuk melihat wajah Syifa.

Saat melihat itu Ilham merasa bersalah. Tak disangka, Syifa menangis. Terlihat dari butiran bening yang mengalir di pipinya. Semakin ke sini, Syifa semakin terisak. Ada satu hal yang ia ingat ketika Ilham bertanya mengenai alasan hijrahnya. Dia ingat seseorang yang menjadi alasan terbesarnya hijrah. Dia adalah cinta pertama Syifa. Dia adalah sosok orang yang pertama kali memeluknya bahagia setelah Ibunda. Dan saat ini Syifa ingin memeluk orang itu.

Ayah...

Satu kata terbesit di dalam hatinya. Setetes air menitik di pipi, menyisakan bekas alirannya. Hati pun sesak sampai terisak. Sedih. Rindu. Ia rindu.

"Syifa rindu Ayah...," teriaknya dalam hati sambil kembali terisak semakin hebat.

Ilham yang tak mengetahui apa-apa mengernyit bingung. Menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Kok lo nangis sih? Gue salah nanya ya?" tanya Ilham hati-hati sekali.

"Ayah...," ucap Syifa lirih.

Mendengar itu Ilham langsung terdiam. Mematung. Matanya menatap nanar lantai yang putih, tak berkedip. Air menggenang di kelopak mata sana. Karena kelopak matanya tak sanggup menahan beban lagi, akhirnya air itu berjatuhan, merusak benteng pertahanannya sebagai lelaki.

Jujur, ia rindu Ayahnya. Berharap, sang Ayah masih tinggal di rumah mewah yang ia tempati saat itu, walau tentu saja itu tak mungkin terjadi lagi. Kini cukup tanah sebagai alas tidur dan kain putih sebagai selimut ayahnya. Tak terbayang bagaimana dinginnya sang Ayah di bawah tanah sana. Dingin. Sendiri. Takut. Ah, Ilham menutup matanya saat mengingat itu.

Takut. Ia juga merasa takut. Takut Ayahnya tidak bahagia di sana. Ayahnya sudah tak ada. Dan satu hal yang Ilham ingat dari nasehat Bagas, ketika baru seminggu Ayahnya meninggal.

"Doain Ayah lo! Dia gak butuh tangisan, dia cuma butuh doa dari orang-orang yang ia sayang agar dia selamat!"

Ibarat sebuah rekaman lama yang diputar kembali. Ia ingat kata-kata bagas, ketika fihadapan Bagas Ilham menangis.

"Ayah... Ayah alasan gue hijrah, Ka!" suaranya bergetar. "Gue sayang Ayah, Ka! Gue gak mau Ayah masuk neraka gara-gara gue ngumbar aurat. Harusnya udah dari dulu gue pake jilbab. Dan gue beruntung bisa ketemu sama si ustadz muda. Seandainya dia gak ngasih tau gue tentang itu, entah Ayah bakalan selamat atau engga.

Gue sayang Ayah, Ka! Gue pengen jadi anak yang sholehah, biar bisa jadi alasan Ayah masuk surga."

Ilham menghapus sisa air matanya. "Sejak kapan lo pinter agama ginu, Fa?"

"Sejak gue ngerasa keganggu sama semua ceramahan dari orang yang awalnya gak pernah gue harepin kedatangannya. Dan ceramahan paling nakutin gue, ya yang tadi itu. Tapi, Ka. Ayah udah pergi buat selamanya. Sekarang si ustadz muda yang suka nyeramahin gue juga pergi. Kenapa sih, di saat gue udah lumayan berubah dan butuh ceramahan dia, dia malah pergi? Buat apa dateng kalo akhirnya bakalan pergi? Gue tuh hauss!"

"Haus ya tinggal minum!" celetuk Ilham sambil membersihkan wajahnya dari raut kesedihan.

Syifa kesal. "Gue gak bercanda! Gue beneran haus. Gue haus ilmu. Gue kangen diceramahin sama ustadz muda itu. Dulu, gue suka marah-marah pas dia lagi ceramah. Bahkan gue gak pernah mau dia dateng buat ngajar. Dan sekarang? Disaat butuh, dia malah pergi..."

Ilham menjentikkan jarinya. "Gue punya ide!" Matanya berbinar. Syifa terkejut.

"Apa?"

"Lo masuk pesantren aja. Cari dah ilmu yang banyaaaak banget, biar lo gak haus ilmu lagi, biar gak nyampe dehidrasi ilmu." Syifa diam, ber berfikir. "Abis itu lo ajarin gue!"

"Kenapa gak lo aja?"

"Gue udah kelas 12. Sibuk mikirin buat UN. Udah lah, lo aja! Lo kan masih kelas 10."

"Halah, sejak kapan lo mikirin UN? Belajar di kelas, bahkan pas ulanganpun kerjaan lo selalu tidur!"

Bugh!

Sebuah bantal mendarat keras di wajah Syifa.

___________________________________

Cinta dalam Hijrah #FJSTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang