Part 5. Sang Mantan

745 78 0
                                    

Happy Reading!!
Jangan Lupa Bahagia...

***

Kubuka lembaran baru di hatiku.
- Iqbaal Thomson -

___

Iqbaal sangat baik kepadanya. Tapi apa yang bisa ia lakukan untuk membalas semua kebaikan Iqbaal. Bahkan pria itu mengatakan bahwa ia akan mengantarnya ke Indonesia jika ia ingin pulang. Pria itu benar-benar baik, dan (Namakamu) tidak bisa memungkiri bahwa ada rasa nyaman tersendiri saat ia di dekat Iqbaal.

"Aku harus bagaimana sekarang?"

(Namakamu) memilih untuk tidur. Memang belum sangat malam tapi ada baiknya jika ia tidur untuk mengisi energinya yang selama ini tidak pernah terisi secara full di tempat kotor dulu.

***

Iqbaal sudah siap. Ia ada pemotretan pagi ini dan tidak mungkin ia terlambat. Ia melihat ke arah kamar (Namakamu). Karena penasaran, Iqbaal mendekat. Ia mendekatkan telinga di daun pintu kamar wanita itu.

Terdengar isak tangis dari dalam sana. (Namakamu) sudah bangun dan ia menangis. Iqbaal tahu perasaan (Namakamu), penderitaan wanita itu. Ingin rasanya ia masuk dan merengkuh tubuh wanita itu. Mengucapkan kata-kata menenangkan agar wanita itu tidak lagi menangis.

Iqbaal tidak mau mengganggu (Namakamu) dulu. Ia menuju dapur dan mengambil paper note yang ada di atas kulkas. Ia menulis sesuatu dan menempelkannya di meja bersama kotak sereal yang diambilnya dari lemari makanan. Iqbaal tidak bisa membuatkan (Namakamu) sarapan pagi ini.

Iqbaal pun keluar dari rumahnya. Tidak ingin dirinya terlambat. Sialnya di luar sana hujan. Mungkin sebentar lagi akan turun salju. Udara pagi ini benar-benar dingin. Mau tidak mau Iqbaal harus mengendarai mobilnya. Ia tidak mau mengambil resiko.

Ia tiba di kantor bersamaan dengan modelnya hari ini dan itu Caitlin. Iqbaal tersenyum ramah kepada wanita cantik yang mungkin berumur 25 tahun. Iqbaal tidak tahu pasti umur model-model dari perusahaan suami Cassie itu.

"Selamat pagi, Mr. Thomson." sapa Caitlin ramah.

"Pagi, Miss Kennedy."

"Panggil aku Caitlin saja."

"Kalau begitu panggil aku Iqbaal saja."

"Oh iya, bagaimana dengan pakaiannya? Apa wanita yang kau tolong itu cocok dengan pakaian yang kupilihkan?"

"Ya, terima kasih."

"Bagaimana dengan gaunnya?" tanya Caitlin antusias. Ia melihat Iqbaal membeli gaun juga kemarin.

"Gaun?" ulang Iqbaal berpura-pura tidak tahu.

"Iya. Gaun biru tua."

"Aku tidak membelinya." dusta Iqbaal.

"Tapi gaun itu..."

"Apa aku harus membelikan wanita itu gaun? Apa dia akan ke pesta? Dia hanya wanita malang yang aku tolong. Untuk apa membelikannya gaun? Yang dia butuhkan hanya pakaian yang lebih bagus dibandingkan memakai kemejaku." jelas Iqbaal sebelum Caitlin terus berbicara.

"Iya juga, sih. Tapi gaun yang kau pegang kemarin sudah tidak ada di tempatnya." Caitlin memegang dagunya seranya mengingat-ingat siapa yang membeli gaun itu.

"Mungkin orang lain membelinya." ucap Iqbaal. Atau mungkin sudah ada di rumahku. Lanjut Iqbaal dalam hatinya. Gaun itu memang dirinya yang membelinya. Tapi ia tidak memberikannya kepada (Namakamu) melainkan menyimpannya di kamarnya.

LonelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang