16 Malam Petir

433 20 0
                                    

Dua orang bodyguard berbadan kekar dengan kostum serba hitam menunduk sopan saat langkahnya berhenti di depan seseorang.

"Lapor, pak. Kami sudah menggeledah rumah milik saudara Gilang, tapi tersangka melarikan diri. Saat ini polisi sudah menyelidiki jejak tersangka." Ucap salah satu bodyguard itu.

Pria dengan rambut yang mulai memutih itu mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras.

"Rakyat tidak tahu malu!" Gumam pria yang dikenal dengan julukan bapak Wakil Presiden itu. "Kerahkan seluruh polisi di seluruh pulau Jawa, cari anak itu sampai dapat. Mati atau hidup, bawa ke hadapan saya." Ucap pria itu lantang. Atmosfer kamar VVIP di rumah sakit itu mendadak menjadi menegangkan.

"Baik, pak. Kami permisi terlebih dahulu." Ucap dua bodyguard itu serempak. Keduanya pun berbalik badan dan pergi meninggalkan ruangan.

Pria itu menoleh ke atas brankar Jane yang terbaring lemah dengan banyak selang yang membelit tubuhnya. Pria itu bernafas panjang. Sakit rasanya melihat kondisi anak satu - satunya selemah ini.

Pria itu bangkit dari sofa yang didudukinya, lalu berjalan pelan mendekati brankar Jane.

Mata Jane terpejam rapat, tubuhnya pucat kurus, kedua mata dan pipi kanannya memar bekas pukulan orang - orang suruhan Nofita, alat bantu pernafasan yang menutup hidung dan bibir pucatnya, tidak ada sehelai rambut pun yang tersisa di kepalanya karena kanker yang semakin buas menggerogoti otaknya. Betapa menyedihkan nasib anak seorang bangsawan itu.

Tes.

Pria itu menangis, tangannya bergetar terulur membelai lembut pipi Jane.

"Papa akan menghukum orang yang telah membuatmu seperti ini, kamu tenang saja." Pria itu menyeka air matanya. "Dan papa mohon, cepat buka matamu, anakku."

***

Gilang mengerjap - ngerjapkan matanya saat merasa hawa dingin menerpa tubuhnya, yang pertama kali terlihat saat membuka mata adalah langit gelap yang dihiasi oleh bintang. Gilang tertidur di sofa itu.

Krucuuk

"Engh." Gilang mengelus perutnya yang keroncongan, ia pun mengubah posisi baringnya menjadi duduk. Gilang mengusap wajahnya yang lelah, lalu melirik jam di tangannya. Masih pukul sembilan, mungkin ia bisa membeli makanan di pasar. Polisi itu takkan mudah mengenalinya saat nanti Gilang turun dari persembunyiannya.

Gilang melangkah gontai menuruni tangga. Gedung ini gelap, namun gemerlap lampu dari komplek sebelah gedung ini membuat sedikit penerangan ke dalam gedung.

Langkah kakinya membawa Gilang menuju sebuah warung bakso di dekat gedung itu. Bakso Nayamul, begitulah nama warung itu.

"Bang, baksonya satu dimakan sini, gak pake sayur ya." Pesan Gilang pada abang bakso itu.

"Oh, siap, mas."

Gilang berkacak pinggang sambil menoleh ke kanan kiri, mencari bangku yang sepi karena setiap bangku sudah diisi oleh pembeli.

Akhirnya Gilang menemukan satu bangku kosong di pojok sendiri. Gilang pun berjalan menuju bangku itu.

Saat melewati salah satu bangku pembeli, Gilang menyipitkan matanya pada seorang pria dengan kostum serba hitam sedang berkeliling dari satu bangku ke bangku lain dengan membawa sebuah kertas, ralat itu adalah foto.

Gilang berjalan ragu melewati pria besar itu.

"Maaf mengganggu, apakah mbak pernah melihat orang ini?" Tanya pria itu pada mbak - mbak yang sedang asik makan bakso.

"Emm, nggak tuh."

Gilang mendekat pada orang itu, "Boleh saya lihat pak fotonya?" Ucap Gilang, pria botak berkaca mata hitam itu melirik Gilang sejenak lalu menyodorkan lembaran foto dari sakunya.

GILANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang