15 Rasa yang lebih sakit

501 22 5
                                    

Duk duk duk duk duk!

"BUKA PINTUNYA! KAMI DARI KEPOLISIAN!"

"DALAM HITUNGAN KETIGA, JIKA PINTU TIDAK DI BUKA SAYA DOBRAK PINTUNYA!"

Dani, Dicky dan Letta tergopoh - gopoh berlari menuju ruang tamu.

"SATU..."

"Duh, kenapa gak kunjung kemaren aja sih kalo keburu - buru gini?!" Gerutu Letta ditengah larinya.

"Diem lu ngomel aja." Umpat Dicky.

"DUA..."

Cklek

Pintu terbuka, menampakkan tiga sosok polisi yang menatap mereka dengan tajam.

"Benar rumah ini milik saudara Gilang?" Tanya salah satu polisi itu lantang. Dani, Dicky maupun Letta menelan ludah gugup.

Dicky menjawil bokong Dani diam - diam.

"Benar, pak." Jawab Dani tanpa ragu. "Tapi kita cemas, pak. Kita udah disini dari tadi pagi, Gilangnya gak pulang - pulang."

Letta bernafas lega mendengar ucapan Dani yang tidak terdengar mencurigakan.

"Apakah ada keluarganya? Orang tuanya atau saudaranya?"

Letta, Dani dan Dicky menggeleng serempak, "Tidak ada, pak."

Ketiga polisi itu saling bertatapan kemudian mengangguk.

"Permisi, kami harus menggeledah rumah ini." Ucap salah satu polisi itu lantas memasuki rumah Gilang begitu saja. Dicky dan Dani melotot kaget dengan aksi ketiga polisi itu, sedangkan Letta menepuk keningnya pelan.

"Aduh." Gumam Letta.

"Bisa gawat nih kalo Gilang ketahuan." Bisik Dicky. Letta mengangguk setuju.

"Ya semoga aja dia udah berhasil cabut. Doain aja." Ucap Dani menenangkan. Dicky dan Letta mengangguk lesu.

***

Gilang memasuki kamar mandi tanpa menutup pintunya, akan mencurigakan jika nanti polisi mendapati pintu kamar mandi rumahnya terkunci dari dalam dan tidak ada siapa - siapa di dalamnya. Gilang menaiki closet duduknya, kedua tangannya menggapai - gapai jendela berukuran sedang di atasnya. Otot tangannya diuji saat ini, Gilang berusaha naik lalu keluar dari jendela yang tinggi itu.

Usaha takkan pernah mengkhianati hasil. Sempat terpeleset dan berdarah karena lengan Gilang tergores besi di jendela itu, akhirnya Gilang berhasil keluar dari rumahnya. Ia segera berlari menjauhi kawasan rumah.

Gilang berjalan tanpa arah, berulangkali ia menoleh ke belakang untuk memastikan bahwa tidak ada orang yang mengikutinya. Langkahnya tiba - tiba tertuju pada sebuah gedung lima lantai yang sudah lama tidak terpakai.

Gilang menaiki anak - anak tangga hingga ia sampai di rooftop gedung kosong itu. Gilang tertunduk. Nafasnya tersengal - sengal karena berlari saat menaiki tangga, terpaan angin sore menggoyangkan rambutnya.

Gilang memperhatikan sekelilingnya, gedung mewah ini seharusnya menjadi gedung yang besar, namun entah kenapa pembangunannya tidak berlanjut, sehingga menjadikan gedung ini sebagai tempat orang - orang berkreasi. Menghiasi sepanjang tembok berwarna putih itu dengan grafiti - grafiti keren. Dari lantai satu hingga lantai lima, dimana ada dinding, disitu ada grafiti.

Namun yang lebih menarik perhatian Gilang, sebuah sofa panjang di tengah - tengah yang menghadap ke arah barat. Tempat yang sangat nyaman untuk merenung sambil menikmati sunset. Gilang berjalan mendekati sofa berwarna coklat tua itu.

GILANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang