2 ( part 1 ) KEPUTUSAN

967 38 10
                                    

Kesunyian menyelimuti atmosfer kamar Yuni, baik Angga maupun Yuni sama - sama terdiam, tak ada yang memulai pembicaraan terlebih dahulu.

"Terus sekarang apa?" Lirih Yuni tiba - tiba. Angga menatap Yuni yang melamun, berdiri di depan jendela kamarnya.

"Aku minta maaf, aku tau aku sangat keterlaluan, Yuni. Tapi aku sama sekali tidak ada niat kayak gini dibelakang kamu. Aku cuma--"

"Udahlah, Ngga." Yuni menghela nafas panjang, perlahan ia memutar tubuhnya menatap Angga yang terpaku di belakangnya.

"Gak ada yang bisa aku harapkan lagi dari kamu. Buang saja empat tahun selama ini, aku muak sama kamu." Sirat mata Yuni tajam menusuk bilik mata Angga. Cowok itu menunduk terisak kecil.

"Selama empat tahun kamu selalu ingin lihat air mataku kan?" Angga mengangkat wajahnya yang sembab. "Sekarang kamu bisa lihat, seneng kan udah lihat aku nangis?"

Yuni memalingkan pandangannya, ia tidak bisa melihat air mata Angga, sungguh ini pertama kalinya dalam empat tahun Angga menangis di depan Yuni. Yuni menyeka air matanya sendiri dengan kasar.

"Yuni." Panggil Angga, Yuni hanya diam tanpa menatap mata Angga. "Boleh aku meluk kamu buat yang terakhir kalinya?"

"Buat apa?" Sahut Yuni ketus.

Angga menelan ludah pahit menerima kenyataan bahwa ke - khilafannya kemarin telah menghancurkan semua impian bahagianya bersama Yuni selama ini.

"Setelah ini aku hanya bisa melihat kamu dari jauh, aku rindu kamu, Yuni." Ucap Angga serak, Yuni tercekit dengan ucapan Angga.

"Aku tidak mau menyentuh cowok yang sudah kotor dengan temanku sendiri, apalagi memeluknya." Tolak Yuni, meskipun dalam hatinya ia menahan sekuat mungkin untuk memeluk Angga.

"Plis, Yuni. Aku sayang kamu, kamu boleh tinggalin aku, aku tau aku salah. Tapi aku gak akan berhenti sayang sama kamu. Tolong, beri kesempatan kali ini saja, aku ingin meluk kamu." Angga mulai melangkah mendekati Yuni.

Yuni menggeleng dan mengangkat tangannya, "Jangan dekat - dekat!"

"Yuni, please."

"JANGAN DEKAT - DEKAT!!!" Teriak Yuni sedetik begitu Angga menarik tubuh Yuni dalam pelukannya. Angga mendekap erat tubuh indah itu, lekuk tubuh yang sudah ia hafal diluar kepala setelah memeluknya selama empat tahun ini, dan kini mungkin... inilah pelukan terakhirnya.

Yuni terisak dan memberontak dalam pelukan Angga, sekuat tenaga Angga mendekap tubuh Yuni yang berusaha melepaskannya.

"Dasar cowok brengsek lo, Ngga! Gue benci sama lo gue benci!!" Umpat Yuni di telinga Angga. Angga tetap pada pelukannya. Andai bisa, Angga ingin waktu berhenti saat ini saja, seperti ini, tidak lebih.

Yuni sesak dibuat Angga, nafasnya membesar, tersengal, kemudian mulai batuk - batuk kecil.

"Aku sayang sama kamu, Yuni. Sayang banget."

"NANDAA!!! NANDA PLIS TOLONGIN GUE! uhuk, uhuk! NANDAA!!" Suara Yuni terdengar serak. Nanda yang mendengar teriakan Yuni dari dalam kamar langsung gopoh menaruh kucingnya di sofa.

Brak!

"Kenapa, Yun?!" Tanya Nanda cemas. Nanda melihat Angga yang memeluk tubuh Yuni yang melemas, Yuni menatap Nanda sendu.

"Angga lepasin Yuni! Lepasin Yuni sekarang bodoh! Yuni sakit." Nanda berlari dan melepaskan Angga dari tubuh Yuni, berikutnya tubuh Yuni terhuyung jatuh. Tidak pingsan, Yuni masih tersadar. Hanya penglihatannya yang tiba - tiba buram, pendengarannya yang memudar, dan kakinya yang seolah mati rasa.

"YUNI SADAR! ANGGA INI GIMANA? SEMUA INI GARA - GARA LO! YUNI ITU PUNYA PENYAKIT LO HARUS INGET, DIA GAK BISA DIDESAK."

Buram, Yuni melihat Nanda memarahi Angga yang berdiri cemas di atasnya. Nanda menopang tubuh Yuni ke kasur.

"KENAPA DIEM AJA LO? BANTUIN!" Bentak Nanda. Kemudian Yuni merasakan tubuhnya terangkat dan pindah di atas ranjangnya. Nanda menggenggam jemari Yuni cemas.

"Bentar gue ambilin air putih dulu." Pamit Angga. Nanda tak menghiraukannya, matanya berkaca - kaca melihat kondisi Yuni. Bibirnya bergetar pucat. Nafasnya tersengal tak henti - hentinya.

"Yuniii, sadar, Yuun. Udah jangan terlalu difikirin, yaa? Yuni, gue cemas." Lirih Nanda menempelkan jemari Yuni di pipinya.

Angga datang dengan segelas air putih di tangannya. Lalu meletakkannya di atas nakas.

"Yuni!" Seru Angga cemas.

Nanda melirik Angga tajam, "Kalau bukan karena lo, Yuni gak bakal gini TAU GAK?!"

"Nda..." Panggil Yuni serak saat merasa sesuatu mengalir dari hidungnya. Nanda dan Angga sontak cemas melihat darah mimisan Yuni. Mengalir membuat hidungnya merah penuh darah hingga ke bibir dan janggutnya. Nanda tak tahan lagi, ia menangis.

"Ambilin kain cepetan!" Bentak Nanda kacau, Angga yang merasa bersalah sekaligus cemas hanya bisa menurut begitu Nanda memerintahkannya. Nanda mengelap bibir dan hidung Yuni dengan kain.

"Nda, gue minta maaf. Gue cuma pengen meluk Yuni."

"Mending lo pulang." Ujar Nanda dingin.

"Nggak. Gue gak bisa ninggalin Yuni pas dia kayak gini."

"Lo tuh sadar diri dong! Yuni udah gak butuh lo dan Yuni udah najis sama lo! Dia kayak gini juga gara - gara lo. Mau lo tungguin disini sampe kiamat juga ga ada gunanya, Angga! Pergi sekarang juga." Gerutu Nanda sengit. Angga sakit hati mendengar ucapan Nanda baru saja, tapi benar juga, Yuni akan lebih sakit jika Angga masih disini saja. Angga menahan tangisnya di hadapan Nanda, lantas mengangguk samar.

"Makasih lo udah nolongin gue tadi, gue pamit." Ucap Angga. Nanda tak menghiraukan kepergian Angga, ia hanya melirik tajam sekilas pada siluet Angga yang mulai menjauh meninggalkan kamar.

***

GILANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang