Trauma Masa Lalu

1.2K 138 0
                                    

Jinyoung membuka matanya perlahan, melihat ruangan di hadapannya putih bersih, berbeda dari yang dilihatnya sebelumnya. Jinyoung mengerjapkan mata, seolah berusaha bangun dari mimpinya. Dirinya merasakan sakit yang amat di pipi, perutnya, sekaligus rasa panas di sekitar matanya. Dia menduga bahwa dirinya menangis lagi, dan berakhir dengan pertolongan seseorang disini. Ini ruang kesehatan? Pikirnya mencoba menoleh ke sekeliling walau kepalanya berdenyut kencang. Dirinya mendesah pelan. Aku merasa mendengar suara Jaebum-hyung...tambahnya dengan perasaan lega. Namun itu pasti hanya imajinasiku, Jinyoung mencoba menggelengkan kepalanya dan berakhir diam membeku. Jinyoung pun menutup seluruh tubuhnya dengan selimut putih, meringkuk ke sebelah kiri ke arah jendela. Aku harus pergi...dan tak kembali lagi.

Setengah jam kemudian Jinyoung terbangun karena suara pintu bergeser perlahan. Suara langkah sepatu yang khas dipakai perempuan membuatnya mendongak dan mencoba melihat siapa itu. Walaupun sakit kepalanya belum hilang dan dia tertidur pulas, Jinyoung tetap memaksakan diri. "Ah, akhirnya kau bangun?" tanyanya sembari menyibak korden putih yang menutupi bagiannya dari luar.

Jinyoung mengerjap, ini pasti guru kesehatan, gumamnya menyimpulkan.

"Bagaimana keadaanmu? Pasti sakit sekali ya sampai babak belur begitu." Jinyoung pun berusaha bangkit. "Ah, kau tak perlu memaksakan dirimu. Aku disini hingga jam pelajaran hari ini selesai kok." Ucapnya dengan senyuman ramah yang membuat Jinyoung merasa nyaman. Jinyoung pun kembali berbaring.

"Anu, boleh saya tahu siapa yang membawa saya kemari?"

"Hmm, anak kelas dua kalau tidak salah, dua orang yang kemari." Jinyoung mengerjap mencerna jawaban itu.

"Bagaimana dengan kelima orang itu?"

"Ah, kepala sekolah dan keamanan sekolah sudah mengurusnya kok. Seperti biasa mereka cekatan sekali ya." Jinyoung mengerjap dua kali.

"Siapa yang anda maksud?" Guru itu tertawa kecil.

"Dua orang yang menyelamatkanmu, anak kelas dua, Im Jaebum dan Jackson Wang." Jinyoung melebarkan matanya terkejut. "Sebenarnya ada seorang lagi, Mark Tuan, namun kurasa dia mengurusi kelima orang itu ketika keduanya sedang membawamu kemari. Kerja sama yang benar-benar bagus." Guru itu tertawa lagi. Dirinya mengenal mereka, mengenal Jaebum.

Jinyoung merasakan sesuatu berdenyut sakit di dadanya, dan dia tahu apa itu. Dirinya cemburu akan Jaebum, dia memiliki kehangatan, ayah yang menyayanginya, teman-temannya yang mempercayainya dan selalu disisinya. Bukan mereka yang hanya ingin tahu tentang dirimu dan meninggalkanmu ketika sudah puas akan apa yang bisa mereka lakukan padamu.

Jinyoung tersenyum kecil, dan dia tak melakukannya demi sang guru. Jinyoung pun bangkit. "Saya ingin pulang sebentar lagi." Jinyoung berusaha keras, walau semuanya terasa sakit.

"Kau yakin? Tidak apa-apa kok sampai bel sekolah berakhir berbunyi. Jaebum dan yang lainnya akan menjemput-" Jinyoung menggeleng, seolah tidak ingin mendengar lanjutannya.

"Iya, saya tak ingin merepotkannya." Guru itu mengerjap bingung.

"Merepotkan? Kurasa tidak. Jaebum dan Jackson sangat khawatir padamu lho." Jinyoung yang tersenyum pahit semakin lebar.

"Justru karena itu, saya tak boleh merepotkan mereka." Sang guru mengerjap, sebelum akhirnya menyerah dengan keputusan Jinyoung.

"Baiklah. Biar kuminta teman sekelasmu membawakan tas milikmu." Jinyoung tersenyum kecil.

"Terima kasih banyak."

Guru itu pun duduk mengarah pada Jinyoung, membuat anak lelaki itu mengerjap bingung. "Kenapa dirimu segitunya tidak ingin merepotkan seseorang?" Jinyoung terkejut, sebelum menunduk, memutuskan apakah hendak menjawabnya atau tidak. Jinyoung menelan ludah dengan paksa.

"...Kejadian ini bukan yang pertama bagiku." Sang guru terkejut.

"Kau membiarkannya?" Jinyoung menggeleng pelan.

"Aku berusaha. Berusaha keras. Namun selalu berakhir sama." Jinyoung terdiam sebentar. "Setiap sekolah yang aku datangi, pastilah seperti ini. Aku tidak tahu apakah ini karma ataukah hukuman bagiku." Sang guru ingin mengatakan sesuatu, namun dirinya urungkan. Karena tahu, bahwa itu tidak sebanding dengan yang dirasakan Jinyoung hingga kini. "Aku berusaha keras tidak merepotkan, namun pada akhirnya, seolah karena penampilan dan hukuman untukku, aku kembali merepotkan. Kakak sangat sibuk, dan aku tahu aku harus bisa mengurus diriku sendiri. Namun, aku tidak bisa." Jinyoung mengangkat kedua kakinya, memeluknya erat. "Tidak ada yang mengajariku soal itu."

Angin berhembus lembut, membuat guru itu mengeryit sedih ketika mencerna setiap kata yang diucapkan Jinyoung. "Aku berpikir bahwa kali ini, dengan pasti, aku akan baik-baik saja. Tidak akan ada yang berusaha menyakitiku lagi." Jinyoung mendongak, membiarkan senyuman terlukis di wajahnya. "Apalagi aku baru saja mendapatkan kakak baru." Guru itu melihat kebahagiaan lain di mata Jinyoung. "Ini pertama kalinya saya menjadi adik seorang laki-laki." Ucap Jinyoung sembari mengusap leher belakangnya. "Karena saya hanya punya kakak perempuan. Karena sering diperlakukan begitu, saya hanya cerita pada kakak dan dia yang mengenal saya dengan baik. Dia begitu protektif sehingga saya tak ingin membuatnya khawatir lagi." Guru itu tersenyum kecil. "Namun semenjak kakak sibuk, hampir dirinya sendiri tak terurus. Saya berusaha keras untuk membantunya, mendukungnya, namun saya sendiri tidak mengerti caranya. Pada akhirnya saya memutuskan untuk tinggal sendirian dan membiarkan kakak berusaha hidup dengan caranya sendiri. Saya merindukannya, namun saya ingin membuktikan bahwa saya juga bisa dan akan kembali pada kakak ketika dirinya sudah tidak sibuk lagi." Guru itu diam mendengarkan, seolah mendengarkan dongeng seorang legenda. "Agar ketika kami bertemu lagi, kami bisa bersenang-senang dan berbahagia bersama."

"Kau pasti bisa, Jinyoung." Lelaki itu mendongak, menatap sang guru yang menatapnya lembut dan tersenyum hangat. Jinyoung merasa hatinya sedikit menghangat. Guru itu seolah memberinya dukungan dengan caranya sendiri. "Tapi Jinyoungie," dirinya mengerjap. "Bukankah ini harus segera kau hentikan bila kau tak ingin merepotkan siapapun? Apalagi Jaebum?" Jinyoung mengeryit. Dia tahu pasti itu. Hanya saja, dia tidak tahu bagaimana caranya. "Jaebum kah, kakak barumu itu?"

Guru itu bisa melihat kebahagiaan lain ketika Jinyoung mendengar nama Jaebum. "Iya. Walau kesan pertamanya sangat buruk dan cuek, Jaebum-hyung sangat baik. Kesamaan kami pun banyak!" Guru itu tersenyum, seolah sedang mendengarkan celotehan anak kecil di hadapannya dengan beragam perban di wajah dan perutnya, dan betapa kurusnya Jinyoung di hadapannya. Senyumannya yang kekanak-kanakan dan garis kerutan di sekitar matanya saja yang membuat Jinyoung begitu menarik dan mempesona. Wajah putihnya dan tampannya itu kini dipenuhi sesuatu yang tak seharusnya berada disana. "Terima kasih." Guru itu mengerjap terkejut. "Karena biasanya hanya dengan kakak saya, saya bisa menceritakan banyak hal seperti ini." Guru itu hanya bisa tersenyum. Berat sekali rasanya melihat anak sejujur Jinyoung harus menderita dan mencoba bertahan melewatinya. "Kumohon, jagalah Jaebum-hyung dan yang lainnya."

Jinyoung tersenyum, dan guru itu membiarkan Jinyoung pergi sebelum Jaebum menjemputnya.

Between Us - You and Me // JJProjectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang