Bab 1

41.2K 1.9K 6
                                    

24 Oktober 2004

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

24 Oktober 2004

Seorang perempuan berjilbab berjalan menyusuri komplek perumahan yang akan dijadikan sebagai tempat tinggal barunya.

Setelah suaminya meninggal tiga bulan yang lalu, dia memutuskan untuk pindah dari kota kelahirannya menuju ibu kota.

Kehilangan orang yang paling dicintainya secara tragis dalam kecelakaan beruntun membuatnya tidak mampu untuk tetap tinggal di rumah yang telah lima belas tahun dia tinggali bersama keluarga kecilnya.

Wanita itu menghentikan langkahnya saat dia sudah sampai di sebuah komplek blok D yang bertuliskan nomor 12. Dipandangnya rumah minimalis yang cukup asri di depannya tersebut hingga seseorang keluar dari dalam rumah dan menyapanya.

"Ibu Marni 'kan?" Tanya seorang wanita paruh baya sambil membuka gerbang rumah.

Marni mengangguk sambil berjabat tangan, tidak lupa senyum teduhnya juga ikut menyertai jabat tangannya tersebut.

"Mari, bu... Kita lihat rumahnya."

Marni masuk bersama wanita tersebut. Di telitinya seluruh bangunan berlantai dua yang berwarna dominan putih itu.

Di dalamnya terdapat empat kamar tidur, satu dapur, ruang tamu, ruang keluarga dan halaman belakang yang cukup luas untuk menyalurkan hobi bercocok tanamnya. Rumahnya masih terjaga dan susunan ruang cocok untuk dia tempati bersama kedua anaknya.

"Rumahnya asri, mbak. Cocok untuk saya. Saya jadi membelinya," Ucap Marni yang membuat wanita tersebut tersenyum senang.

"Baiklah, kalau begitu kapan bisa kita proses pengalihan berkas rumahnya, bu?"

"Mulai besok juga boleh, mbak."

Setelah cukup melihat-lihat, Marni pamit pada wanita tersebut. Kemudian dia menelpon seseorang untuk menjemputnya karena tadi dia tidak membawa mobil.

"Bang, saya sudah selesai melihat rumahnya dan saya merasa cocok. Jadi, mulai besok sudah bisa diurus keperluannya. Abila dan Zafran nggak bandel 'kan? Baiklah...iya saya tunggu di komplek ini, blok D rumah nomor 12 ya, bang."

Setelah menelpon kakak tertuanya itu, Marni meletakkan kembali ponselnya di dalam tas, hingga sebuah suara dengan ragu-ragu memanggilnya dan dia menoleh ke arah samping.

"Rani?" Panggil Marni saat melihat seorang perempuan sebayanya terlihat kaget memandanginya.

"Marni? Ya ampun Mar, udah setahun kita nggak tukar kabar, aku kangen banget loh." Ucap Rani sambil memeluk Marni.

Marni yang mendengar ucapan Rani pun merasakan hal yang sama. Mereka adalah sahabat di masa SMP sampai SMA. Hingga saat masa kuliah mereka harus berpisah karena Marni memilih kuliah di jurusan pertanian di ibu kota dan Rani berangkat ke negeri seberang untuk kuliah di jurusan manajemen dan bisnis. Empat tahun mereka hilang kontak, hingga saat Rani kembali ke Indonesia dengan suami serta bayi perempuannya mereka berjumpa lagi. Pertemuan terakhir mereka adalah saat kelahiran Abila. Setelah itu mereka kembali tidak bertemu karena berbeda kota. Yang mereka lakukan adalah sering bertukar kabar, hingga setahun yang lalu mereka benar-benar saling kehilangan kabar.

"Ya ampun, Mar. Kangen banget aku sama embulku ini,"

Marni tertawa mendengar celotehan Rani yang tidak pernah berubah.

"Bang Arman mana, kok kamu sendirian? Zafran sama Abila? Pasti mereka udah pada besar, ya."

Marni tersenyum kecut saat mendengar nama suaminya.

"Bang Arman udah meninggal dunia, Ran. Tiga bulan lalu dalam kecelakaan beruntun."

"Innalillahi wainnailaihirajiun... turut berduka cita ya, Mir. Jadi sekarang kamu di sini ngapain?" Nada suara Rani berubah dari ceria menjadi sendu.

"Pindah, Ran. Nggak sanggup di rumah yang dulu. Ke ingat bang Arman terus."

"Masih jadi dosen 'kan?"

Marni menganggukkan kepalanya. "Masih, tapi sekarang pindah ke kota ini. Nih, yang bakalan jadi rumah aku untuk seterusnya,"

Rani melongo saat Marni menunjukkan bangunan di depan mereka.

"Serius? Jadi kita tetanggaan dong?"

Sejenak mereka sama-sama terdiam hingga saat mereka sadar lalu tertawa bersama. Nyatanya, kini mereka bukan hanya sahabatan, tetapi juga tetanggaan.

***

"Assalamualaikum,"

"Waalaikumsalam,"

Pintu berwarna putih itu pun terbuka. Di sana, Marni sudah berdiri dengan seorang anak laki-laki berusia empat belas tahun dan seorang anak perempuan berusia sebelas tahun.

"Eh, ada cowok ganteng sama cewek cantik. Masuk, yuk." Sapa Rani kepada kedua anak tersebut yang dia tau sebagai anak dari Marni.

Mereka berjalan masuk ke ruang tamu yang cukup luas. Dibandingkan rumah Marni, rumah Rani hampir dua kali lipat besarnya meski masih berada dalam satu komplek dan blok.

"Duduk dulu di sini, Sayang..." Ajak Rani kepada Zafran dan Abila.

"Sabiya, Abian... turun sini, nak. Mami mau kenalin teman baru nih," Teriak Rani.

"Anak-anak kebiasaan nongkrong di atas, kalau papinya ada pasti pada keluar." Ucapnya lagi.

Dua orang anak turun sambil bercanda dari lantai atas. Yang satunya perempuan berusia lima belas tahun, dan satu lagi laki-laki berusia dua belas tahun.

"Sini, Nak... salam dulu sama tante Marni, terus Zafran dan yang imut itu Abila,"

Sabiya dan Bian bergantian bersalaman dengan Marni, sedangkan dengan Zafran dan Abila mereka saling sapa dan tersenyum.

"Akur-akur, ya. Sekarang kita punya tetangga baru. Teman baru buat kalian juga,"

Ke empat anak itu menganggukkan kepalanya. Lalu seolah sudah kenal lama, mereka berempat bermain bersama di halaman belakang.

"Bayi kecil kamu udah besar aja, Ran." Ucap Marni.

"Bayi kecil kamu juga." Timpal Rani.

Lalu mereka tertawa bersama sambil bercerita masa muda mereka dulu.

***

"Bila, sekarang kelas berapa?" Tanya Sabiya pada Abila yang sedang bermain dengan boneka.

"Mau masuk SMP, kak." Ucap Bila.

"Sama dong sama aku. Tapi 'kan kamu masih kecil," Timpal Bian.

"Dia masuk sekolahnya cepat setahun. Mau ngejar aku. Tapi nggak terkejar juga," Ucap Zafran dengan nada mengejek.

"Abang ngeselin ih. Nggak mau temenan lagi. Bila aduin bunda nih." Rajuk Bila.

"Temenan sama aku aja, aku nggak ngeselin kok. Biar kak Biya aja temenan sama bang Zafran. Mereka cocok, sama sama nyebelin," Ucap Bian sambil pindah ke samping Abila.

"Siapa juga yang mau temenan sama anak kecil, ya nggak Zafran?" Goda Sabiya.

"Iyalah... anak kecil sama anak kecil sana." Timpal Zafran.

"Mami!!"

"Bunda!!"

Teriak Bian dan Abila secara bersamaan dan berhasil membuat kakak mereka tertawa puas. Sifat anak bungsu yang cenderung manja membuat Bian dan Bila menjadi cocok. Sama-sama sering di tindas oleh kakaknya dan mudah mengadu saat diledek atau diguraui juga.

💛🧡❤️

Kisah Kita SelamanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang