***
Aku mengacak acak rambut dengan kesal saat harus mendengar curhatan panjang sang Abian Xavier Dermawan yang tidak kunjung selesai dari tiga jam yang lalu. Andai curhatannya normal seperti orang patah hati lainnya, mungkin aku masih bisa menjadi pendengar atau setidaknya memberikan semangat. Tetapi, si tiang berjalan satu ini malah melantur entah kemana.
"Bian, sebenarnya kamu ini patah hati atau nggak sih?"
Bian mengangguk sambil memakan brownis yang kini hanya tersisa seperempat dari yang aku bawa tadi. Entah bagaimana jadinya kalau kak Biya tau brownis kesukaannya itu dihabiskan oleh laki-laki yang sedang patah hati ini. Pasti akan terjadi perang yang berujung Bian harus membeli brownis di toko kue langganan kakaknya lagi.
"Siap-siap keluarin uang buat beli lagi brownis yang baru. Bunda pasti udah kabarin kak Biya kalau tadi aku antar kue kesukaannya ini kemari. Lengkap sudah deritamu hari ini wahai Abian. Udah patah hati ditimpa beli brownis lagi,"
"Biarin, bukan itu masalah yang harus dipikirin sekarang ini. Kamu punya solusi nggak sih buat aku?" Geram Bian sambil memasukkan potongan terakhir brownis dalam mulutnya.
Aku berdecak kesal. "Solusi apa? Dari tadi aku juga udah bilang. Biasanya, orang normal yang baru putus itu bakalan nangis atau minimal sedih lah gitu. Lah kamu ngapain pake acara mau putusin Tasya lagi sedangkan dia udah mutusin kamu."
"Aku nggak terima lah, seharusnya aku yang putusin dia. Orang dia yang salah udah selingkuh di belakang aku."
Aku memutar bola mataku dengan malas. Rupanya laki-laki ini tidak sadar dengan kecuekannya selama ini.
"Siapa suruh cuek sama pacar? Pas ditikung orang malah marah. Rasain! Sukurin! Emang enak!"
Bian menarik ujung rambutku.
"Aku nggak cuek, tapi cool."
Aku kembali berdecak kesal mendengar ucapan percaya diri Bian yang tidak pernah luntur itu.
"Mana ada ceritanya tiang berjalan jadi balok es? Nggak ada cocok-cocoknya." sinisku.
Aku melihat Bian memutar badannya menghadap ku.
"Kamu kenapa sih ngatain aku tiang berjalan terus dari dulu? Kayaknya tinggi 185 senti itu masih cocok buat cowok. Kamu nggak sadar kalo kamu juga jadi cewek paling tinggi di kelas?"
Aku menyanggah tidak terima.
"170 senti normal kali buat cewek, mereka aja yang pada pendek-pendek."
Curhatan tidak berfaedah Bian pun berubah menjadi acara saling mengejek postur badan masing-masing. Mulai dari tinggi badan, perbedaan mata Bian yang ukuran biasa dengan mataku yang lebar, hidung Bian yang mancung dan aku yang tidak terlalu mancung, bibir Bian yang penuh dan bibirku yang kecil, sampai warna kulit Bian yang lebih gelap dariku. Padahal, kalau dilihat-lihat, kami sama-sama termasuk jenis orang yang berkulit kuning langsat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Kita Selamanya
General Fiction"Gimana kalau kamu aja, Bil... setidaknya kalian sudah saling mengerti satu sama lain. Jadi, bunda dan mami bisa tenang kalau kalian bersama." Aku yang sedari tadi menunduk hanya bisa semakin menunduk mendengar ceramah dari dua orang wanita yang ama...