Bab 8

19.7K 1.2K 19
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Minggu ini aku memutuskan untuk mengistirahatkan kepalaku sejenak dari revisi proposal yang ternyata cukup banyak dan permasalahan Bian yang ternyata semakin menjadi.

Setelah memutuskan untuk berbicara secara pribadi dengan papi dan maminya, keputusan sang mami ternyata tetap saja sama. Bahkan, papi juga sejalan dengan istrinya yang belum yakin dengan kesiapan Bian untuk berumah tangga. Jadilah aku sebagai tempat pembuangan unek-unek Bian yang amat panjang melebihi rel kereta api. Semalaman Bian membuatku tidak bisa memejamkan mata hanya demi mendengarkan curhatan panjangnya. Hingga keesokan harinya, aku terbangun dan mendapati diriku tertidur di atas sofa ruang tamuku dengan Bian di sofa seberangnya. Itu jugalah yang membuat aku menjadi lupa merevisi skripsiku. Sedangkan Bian? Revisinya hanya sedikit, sangat sedikit sehingga dia bebas menggalau sesuka hatinya.

Aku mendial nomor Karin untuk mengajaknya keluar bersama. Setelah panggilan terjawab, aku langsung membombardir gadis itu dengan suara mautku.

"Karin!! Keluar, yuk. Mau makan es krim di snowflake,"

"Ya ampun, Abila! Revisian skripsi gue menumpuk ini!" Seru Karin dengan sama mautnya di seberang sana.

"Makanya, bu guru soon to be. Nyantai bentar dong biar bisa ngegas lagi buat skripsinya."

"Lagian tumben minggu gini ngerecokin aku! Sohib forever kamu si Abian tiang berjalan mana?"

"Ck! Tu anak lagi error. Aku malah mau kabur dari dia."

"Lah. Kenapa lagi? Kalian sahabat bukan sih? Berantem mulu, ntar baikan trus berantem lagi. Haduh!"

"Kali ini parah, Rin. Makanya ayo keluar. Nanti kita ngegosip deh."

"Iya iya. Aku mandi dulu."

"Oke, bu guru! See you."

Setelah itu aku menutup sambungan telpon dan bergegas mengikuti jejak Karin untuk mandi.

***

Aku mengetuk-ngetuk meja sambil memandangi suasana luar kafe yang dekat dengan jalan. Sudah lebih dari sepuluh menit dari perjanjian, tetapi Karin belum juga datang.

"Ratu telat. Penyakit masa SMA masih aja kebawa sampe kuliah," Gerutuku kesal saat melihat Karin berlari dengan napas putus-putus.

"Sorry, Bil. Macet!" Akhirnya aku mendengar suara Karin yang seperti habis mengejar copet untuk kesekian kalinya.

"Sebahagianya kamu aja deh, Rin. Mau macet, mau banjir, asalkan kau bahagia." Ucapku dengan kesal.

Sementara Karin hanya menunjukkan cengirannya sambil mengambil tempat duduk di depanku.

"Udah pesan?" Tanya Karin yang aku balas dengan gelengan.

"Ya udah, aku pesanin deh. Kamu mau apa? Kayak biasa atau mau varian baru?"

Kisah Kita SelamanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang