Bab 5

22.5K 1.5K 14
                                    

10 Febuari 2014

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


10 Febuari 2014

BUK!

"Bian bodoh!"

BUK!

"Jelasin nggak!"

BUK!

"Cepat jelasin!!!!"

Aku terus saja memukuli Bian dengan buku panduan yang ada di tanganku. Kali ini, aku benar-benar dibuat kesal oleh tingkah sesuka hatinya. Baru saja beberapa bulan lalu aku dilabrak oleh perempuan yang mengaku pacar Bian. Sekarang sudah ada lagi kabar burung yang mengatakan kalau selama ini sebenarnya aku adalah pacar Bian.

"Udah sih Bil, cuek aja,"

Itulah yang sedari tadi keluar dari mulutnya. Saat seperti ini, aku menjadi ingat lagi pertanyaan kak Biya.

"Aku jadi penasaran, ntar kalo udah kuliah, kalian masih kayak gini nggak ya?"

Rasanya ingin sekali aku terbang ke Turki untuk menemui kak Biya yang tahun lalu sudah menikah dan pindah ke negara tersebut. Mungkin aku akan lega kalau bisa menjawab pertanyaan kak Biya dengan keadaan yang saat ini terjadi.

"Lebih parah kak Biya. Adik kakak miringnya nggak tanggung-tanggung, all out banget!"

BUK!

"Jawab, tiang!"

Aku mulai menggebuk bahunya lagi hingga Bian terlihat mulai mengaduh karena kekerasan yang aku lakukan.

"Kenapa bisa ada kabar kalau kita pacaran? Padahal seluruh orang di jurusan manajemen bisnis ini tau kalau kita udah sahabatan dari bocah. Apa maksudnya coba? Kalau kak Ghina dengar kabar ini gimana? Kamu nggak kasian sama pacar kamu yang sebenar-benarnya itu?"

"Nggak lah, malah dia yang minta aku buat bilang kalo kamu pacar aku,"

Aku melongo saat Bian dengan santainya mengucapkan kata per kata itu.

Sejak tahun lalu, Bian memang menjalani hubungan serius dengan kakak tingkat yang dua tahun lebih tua darinya. Tetapi, selama itu juga tidak ada selain aku yang tau kalau mereka pacaran. Alasannya, karena kak Ghina belum siap dinyinyirin orang sekampus kalau ketahuan pacaran sama brondong. Padahal, kalau memang mereka saling suka, omongan orang lain tidak akan ada gunanya. Bian juga terlihat serius dengan hubungan kali ini, bahkan dia sudah memantapkan hati untuk menjadikan kak Ghina sebagai istri masa depannya. Entah apa yang sebenarnya ada di kepala mereka berdua hingga tega-teganya membuatku menjadi kambing hitam.

"Bi... cinta boleh, bego yang jangan." Gerutuku.

Aku melihatnya menoleh ke arahku. Wajahnya kelihatan kesal, tetapi ditutupinya dengan senyuman tengil yang biasa dia berikan padaku. Karena di depan yang lainnya dia akan tetap sama dengan Bian di masa putih abu abu, stay cool.

"Aku serius, Bi. Kalau kalian saling cinta, ngapain main kucing-kucingan begini? Lagian kak Ghina juga udah lulus. Kita tinggal hitung bulan juga bakal nyusul kak Ghina. Nggak usah lah pake acara jadiin aku kambing hitamnya. Aku juga punya kehidupan pribadi yang nggak semuanya bisa kamu campur kayak gini. Kamu tau 'kan kalo aku nggak berniat punya pacar sekali pun itu cuma bohongan? Apalagi itu kamu. Orang yang udah aku anggap keluarga sendiri. Sahabat yang walaupun ngeselin tapi selalu bisa jagain aku dari dulu. Kok kamu bisa setega itu ngikutin ucapan kak Ghina dan bikin aku dihantui oleh gosip nggak penting ini? kamu nggak mikir gimana stresnya aku ngeladenin mereka sambil ngerjain skripsi?" Air mataku keluar seiring dengan rasa kesal yang sedari tadi kutahan.

Kisah Kita SelamanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang