***
"Hai, Bil."
Aku memutar kepalaku yang tadinya sibuk membuat sketsa busana di tablet.
"Ngapain ke sini?" Ketusku saat melihat orangnya.
"Masih marah sama aku?"
Aku mengerutkan keningku. Awalnya, aku bingung maksud dari perkataan Bian. Namun, saat aku mengingat insiden kami beberapa jam yang lalu di kampus, aku tanpa sadar menganggukkan kepala tanda sudah paham maksudnya. tetapi, lain hal nya denganku, ternyata Bian salah mengartikan anggukkan tersebut.
"Aku kan udah minta maaf, Bil. Sumpah, aku—"
"Kamu tau yang paling aku nggak suka 'kan?" Tanyaku memotong ucapan Bian.
"Orang yang suka sumpah-sumpahan." Cicitnya yang terdengar seperti gumaman.
Aku menghembuskan napas lelah sambil menyandarkan tubuhku di sofa.
"Lupain. Aku tadi cuma lagi sensitif banget. Tau lah kalo cewek lagi kedatangan tamu gimana, lagian itu juga buk—"
Ucapan ku terputus saat Bian melompat ke arah sofa disampingku. Dengan cepat dia membawa sebelah lenganku untuk di rangkulnya dan ditambah dengan kepala yang sudah tergeletak dibahuku.
"Makasih,Bil. Aku bersum— eh aku nggak bakal gini lagi." Ucapnya dengan suara tengil seperti biasanya.
Setidaknya aku mensyukuri satu sifat kami yang terlihat sama. Kami berdua adalah jenis orang yang mudah memaafkan satu sama lain. Tetapi, hal itu hanya berlaku untuk kami berdua, bukan dengan yang lain. Jadi, mau semarah apapun aku dengan Bian atau sekesal apapun Bian denganku, kami akan mudah berbaikan hanya dengan berbicara atau melemparkan guyonan yang terkadang garing tetapi cukup membuat kami kembali akur.
"Nggak usah lebay. Biasa aja!" Ketusku.
"Nggak bisa, aku nggak tenang kalo kamu marah. Nanti aku ngobrolnya sama siapa? Curhatnya gimana? Belajarnya bareng siapa?"
"Sama kak Ghina lah. Dia kan pacar kamu. Ngobrol sama dia, gelayutan sama dia. Ngerengek sama dia, curhat sama dia, belajar bareng sama dia, jalan-jalan juga bareng seharusnya. Bukan ngerecokin jomlo hepi kayak aku."
Bian tertawa mendengar rentetan kataku.
"Serius, Bi! Aku lagi nggak bercanda."
"Aku juga,"
"Terus ngapain ketawa?"
"Ya iyalah, kamu kayak nggak tau Ghina aja. Mana sempat dia dengerin curhat aku. Apalagi jalan bareng. Dia itu sibuk banget sama kerjaannya yang entah kapan free itu. Seharusnya kamu bersyukur, aku masih bisa di samping kamu sebelum aku putusin buat nikah."
Aku langsung menoleh ke arah Bian yang membuat kepalanya tidak lagi bersandar pada bahuku.
"Nikah?" Tanyaku yang diangguki Bian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Kita Selamanya
General Fiction"Gimana kalau kamu aja, Bil... setidaknya kalian sudah saling mengerti satu sama lain. Jadi, bunda dan mami bisa tenang kalau kalian bersama." Aku yang sedari tadi menunduk hanya bisa semakin menunduk mendengar ceramah dari dua orang wanita yang ama...