Bab 9

18.3K 1.2K 4
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Hari ini adalah hari termanis yang pernah aku rasakan selama menjadi mahasiswa. Bagaimana tidak, Bu Salma selaku pembimbing skripsiku dengan nada lembutnya menyatakan bahwa proposal milikku sudah cukup rapi dan lengkap sehingga dengan tenangnya beliau memberikan acc nya untukku. Hal ini membuatku tersenyum lebar setelah dua bulan lebih merayap dengan tumpukan kertas itu akhirnya aku bisa menyusul Bian yang seminggu lalu sudah lebih dulu mendapat acc.

Hatiku bahagia bukan kepalang. Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, senyumku tidak pernah luntur. Bahkan saat masuk dan memberi salam pun aku masih terlihat seperti orang yang sedang kasmaran.

"Assalamualaikum, bunda. Anak cantik bunda pulang!" Seruku penuh keceriaan. Namun, aku malah tidak mendengar balasan dari bunda.

"Mobil bunda ada di luar. Tapi kok salam aku nggak dijawab, ya?" Gerutuku sambil berlari kecil ke arah taman belakang. Pasti bunda sedang dengan anggrek anggrek kesayangannya, pikirku.

"Bun—"

Ucapanku terpotong saat mendengar isak tangis yang terdengar seperti suara mami. Suara bunda juga terdengar serak sambil terus berucap sabar kepada mami. Dengan hati-hati aku mencoba menghampiri kedua wanita berhargaku tersebut.

"Mami? Bunda?" Panggilku pelan.

Mataku langsung terbelalak saat mami menoleh ke arahku. Matanya sungguh sangat sembab. Tubuhnya juga terlihat bergetar, suara sesegukannya juga membuat hatiku ikut perih.

"Bila, tolong mami, Bil." Ucap mami dalam isakannya.

Aku terenyuh melihat keadaan wanita paruh baya itu di dalam pelukan bunda.

"Bian, Bil... Bian," Ucap mami lagi.

Aku mengambil langkah besar dan ikut duduk bersama mami dan bunda di bangku panjang taman belakang rumah. Tubuh mami yang semula memeluk bunda kini beralih kepadaku.

"Mami nggak tau harus gimana lagi, Bil. Bian sama sekali nggak mau mendengarkan mami. Dia masih tetap ingin menikahi perempuan itu."

Mendengar penuturan mami tersebut, aku hanya bisa menghela napas. Sudah dua minggu berlalu, namun situasi masih sama. Malah, drama semakin berlanjut. Bian yang tetap pada pendiriannya dan mami tetap pada keputusan awalnya. Berulang kali mami memohon agar aku memberi pengertian pada Bian, berulang kali juga aku harus mendengar ucapan yang sama dari Bian. Aku merasa seolah sedang berada di titik tengah antara permasalahan ibu dan anaknya.

"Bila, kamu tenangin mami dulu, ya. Biar bunda buatkan air gula dulu. Mungkin mami bisa lebih tenang." Aku mengangguk dan membiarkan bunda pergi. Aku tau, bunda pasti ingin aku menenangkan mami secara pribadi.

"Kenapa Bian begitu keras kepala, Bil? Apa dia tidak mengerti perasaan mami? Mami takut, perasaan mami nggak pernah baik kalau dia sudah menyinggung pernikahannya dengan perempuan itu. Naluri mami sebagai ibu menentangnya, Bil. Mami harus bagaimana?"

Kisah Kita SelamanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang