Bab 7

19.8K 1.3K 14
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

"Siap?" Aku menoleh ke arah dimana suara itu berasal.

PLAK!

Aku memukul bahu Bian tanpa peduli itu sakit atau tidak.

"Seharusnya aku yang tanya. Siap nggak?"

"Nggak usah ditampol juga kali, Bil."

Lagi-lagi sifat kekanak-kanakannya keluar. Aku makin tidak yakin dia mampu berumah tangga jika sifat merengeknya itu masih seperti sekarang.

"Masuk sana!" Aku memerintahnya hanya dengan menggunakan dagu dan wajah kesal.

"Ladies first,"

"Nggak ada acara pake ladies first segala! Masuk! Kalo nggak aku pulang nih," Gertak ku sambil mengambil ancang-ancang ingin berbalik.

"Oke! Serem banget sih cewek yang lagi kedatangan tamu." Sungut Bian sambil membuka pintu rumahnya.

Kami baru saja pulang dari kampus untuk menyelesaikan masalah proposal skripsi yang ternyata siapnya bersamaan. Bahkan, pembimbing kami adalah orang yang sama yaitu, bu Salma–dosen yang cukup disegani karena pembawaannya yang selalu anggun dan berwibawa. Dari semenjak kami masuk ke dalam mobil CR-V milik Bian, dia terus saja menyusun kata-kata yang cocok untuk memberitahukan mami perihal pernikahan. Sementara aku menjadi pendengar budiman yang setia tanpa menjawab. Alasannya, karena apapun yang kukatakan nanti, pasti tidak akan terucap olehnya. Untuk seorang Bian yang suka bicara spontan, contekan tidak akan mempan padanya. Bahkan untuk saat pidato sekalipun.

"Assalamualaikum, mami."

Mami menyambut salam kami dari dalam rumah dengan ceria dan menyuruh kami duduk di sofa ruang keluarga untuk mencicipi resep kue keringnya yang baru saja keluar dari panggangan.

"Siap ya, tiang." Bisikku sekaligus mengejek Bian.

"Iya dong, lidi."

Aku mendengus saat dia balik mengejekku dengan sebutan yang hampir selalu berubah-ubah sesuai keinginannya.

"Tumben kalian senyap gini. Biasanya juga ribut," Ucap mami saat meletakkan setoples kue kering dan dua gelas jus jeruk.

"Iya nih, mi. Bian mau ngomong sesuatu katanya...awh!" Aku meringis saat lenganku dicubit sadis oleh Bian hingga mataku hampir berair.

Matanya yang tidak selebar aku itu memicing seolah memperingatkan aku untuk diam. Sehingga aku hanya bisa meringis sambil mengusap lengan malangku.

"Aduh. Baru dibilang senyap, sekarang malah ribut." Mami menggelengkan kepalanya melihat kami berdua.

"Dimakan ya kuenya, jangan lupa komentarin, mami ke belakang dulu."

"Tunggu, mi... " Mami yang tadinya sudah bersiap untuk berdiri mendudukkan kembali dirinya di sofa.

Kisah Kita SelamanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang