Bab 2

30.4K 1.8K 20
                                    

22 April 2010

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

22 April 2010

Aku menikmati sore mendung ini dengan segelas susu coklat hangat dan sebuah novel yang baru ku beli dua hari lalu setelah melalui perebutan panjang antar sesama penyuka buku. Tidak ada yang ingin aku lakukan selain bersantai untuk hari minggu yang damai ini. Tidak dengan tugas sekolah yang menumpuk atau dengan gangguan tiang berjalan yang selalu merecoki segala kedamaian ku.

Hari ini begitu damai, sedari pagi badan kurus ku hanya berbaring di atas kasur sambil menikmati ragam acara di televisi. Siangnya, mata besar ku tertutup rapat menuju alam mimpi setelah kenyang dengan seporsi makan siang buatan bunda yang enaknya tidak terbantahkan. Hingga sore, saat mataku terbuka, aku mandi lalu membuat secangkir susu coklat dan berakhir di sini, di taman belakang yang asri berkat rajinnya bunda, bukan aku.

"Perfect!"

"Apanya?"

Aku tersedak susu coklat yang baru saja hendak masuk ke dalam mulutku. Belum lama aku bergumam sempurna, sekarang malah datang pengganggu ketenangan ku yang hakiki.

"Kalau kata Bu Santi, reaksi kamu itu dinamakan hiper bola, melebih-lebihkan," Ucapnya yang tanpa malu langsung mengambil posisi di sampingku dan membalut dirinya dalam satu selimut yang sama denganku.

"BIAN!!"

Dia menutup telinganya saat mendengar suaraku yang melengking merdu. Terkadang, dia lupa kalau dia memiliki jenis kelamin yang berbeda denganku hingga seenak jidatnya masuk dalam satu selimut dan menyandarkan kepalanya di bahuku dengan nyaman.

"Apaan sih, Bil." Kesalnya sambil mengusap telinga yang mungkin masih berdengung.

Aku mendorong tubuh tingginya menjauh dengan satu jitakan yang tidak boleh lewat di kepalanya.

"Sama Tasya sana! Jangan menggelayut sok manja sama aku! Dasar tiang berjalan!" Hardik ku sepuasnya.

Sementara Bian? Dia tidak pernah mau ambil pusing dengan segala teriakan dan kekesalanku. Bukannya marah atau menjauh, dia malah duduk kembali di posisi semula.

"Dingin, Bil. Tega banget, sih. Cuma bagi selimut sambil duduk kok bukan tiduran. Lagian, aku bersandar sama kamu karena—"

"APA!?" Bentakku lagi.

Bian tidak jadi melanjutkan ucapannya lagi saat aku sudah mulai berubah menjadi pemeran antagonis di sinetron yang ada di televisi.

"Suara kamu itu bagus loh, Bil." Ucapnya menyenggol bahuku.

Aku mendengus ke arahnya.

"Kalo nggak bagus nggak bakal menang kemarin." Bangga ku karena seminggu yang lalu berhasil memenangkan juara dua vokal solo di ajang tingkat provinsi.

"Tapi kalo teriak jadi kayak preman pasar, serem!"

Emosiku yang tadinya mencair kini mendidih dengan cepat. Kutarik rambutnya yang mulai panjang itu dengan sejuta hardikan yang sudah biasa didengarnya. Suara mengaduhnya tidak lagi membuatku iba sama sekali. Dia adalah manusia tiang berjalan yang paling mengesalkan. Namun anehnya tetap aku sayangi. Sifatnya terkadang kelewat baik. Namun juga sebanding dengan sifat mengesalkannya. Hingga aku bingung kenapa aku bisa bersahabat dengan manusia ini selama lima tahun terakhir hingga sekarang kami duduk di kelas dua belas.

"Sakit Bila!"

"Bila!!!"

"Abila Lanika! Ampun, ampun."

Keganasanku pun berakhir di situ. Aku tau, jika dia sudah menyebut nama lengkap ku, maka dia sudah di ambang sanggupnya.

"Baiklah, Abian Xavier Dermawan. Berdamai?" Ucapku sambil menetralkan deru napasku.

Aku melihat dia mengangguk sambil meringis memegang kepalanya yang mungkin terasa panas dan pedih.

"Kejam banget sih, Bil. Udah di jajah gini baru minta damai. Sakit nih kepala aku." Rengeknya seperti anak kecil.

Sebenarnya aku kasian, tetapi suruh siapa dia ngeselin kuadrat begitu.

"Ya udah sini." Ucapku sambil menyuruh Bian mendekat dan mengelus kepala yang tadi aku jambak. Lalu dia begitu santainya bergelung di sampingku dengan selimut yang sudah menutupi hawa dingin sore ini.

Dari dulu aku memang tidak bisa marah terlalu lama dengannya. Walaupun terkadang mengesalkan, namun sisi lainnya yang selalu ada untukku membuat aku betah menjadi sahabatnya. Apalagi kedua orang tua kami memang bersahabat, jadilah kami penerus mereka yang juga menjadi sahabat. Walaupun dengan jenis kelamin berbeda dan mengundang ketidakyakinan orang-orang dengan status kami ini selama ini.

Bagi teman-teman di sekolah, kami ini adalah dua orang yang terjebak hubungan ambigu. Dibilang teman, tapi kemana-mana bersama. Dibilang pacaran, Bian memiliki pacar yang sudah jalan lima bulan dan bisa dibilang rekor pacaran terlama untuk dia  Katanya Tasya sudah cocok dengan tipenya dan dia suka.

Sedangkan aku? aku adalah tipe orang yang maunya langsung nikah dari pada pacaran. Terlalu memusingkan untuk mengurusi hal seperti itu. Apalagi setelah melihat hubungan asmara Bian yang cukup sering kandas namun cepat berganti, semakin malas saja rasanya.

"Ya ampun ini anak berdua kenapa jadi kayak pengantin baru, sih!"

Aku yang sedari tadi mengelus kepala Bian sambil melamun dan tidak sadar jika Bian dengan tidak tau dirinya sudah memelukku dari samping terlonjak kaget mendengar suara mami Rani, ibu dari Bian.

"Katanya sahabat, kenapa lengket banget gini. Mami nikahin baru tau rasa kalian!" gertak mami yang membuatku langsung berusaha mendorong Bian. Tetapi ajaibnya anak ini makin mengeratkan pelukannya padaku.

"Dasar duplikat Fathir, bangun. Halalin dulu anak orang baru nempel-nempel!" Ucap mami lalu menjewer Bian dengan semangat.

"Bian 'kan memang anaknya papi, mi." Mendengar ucapan Bian, mami semakin menguatkan jewerannya.

Bian yang sadar telinganya semakin pedih mengaduh sambil memegang telinganya. Sementara aku hanya tertawa menyaksikan penyiksaan yang kedua kalinya untuk Bian hari ini.

"Sakit, mi. Nggak ngapa-ngapain kok sama Bila. Cuma numpang bahu buat tidur." Rengek Bian sambil mengusap telinganya yang sudah merah. Mami mengacak pinggang saking gemasnya dengan kelakuan putra bungsunya itu.

"Numpang bahu? Kamu udah nggak bisa bedain bahu sama pinggang? Tangan sama kepala? Kepala emang di bahu, tapi ini tangan nakal ngapain belit pinggang Bila?"

"Bila aja nggak nolak."

Aku langsung mengambil ancang-ancang untuk menjitak kepalanya lagi. Enak saja si tiang berjalan, setelah membuat bahuku pegal sekarang malah melemparkan meriam padaku. Padahal dia yang mencuri kesempatan memelukku saat aku melamun tadi.

"Nggak, mi. Bila tadi nggak sadar karena melamun. Lagian Bila udah coba lepasin dari tadi 'kan? tapi Bian malah makin erat meluknya. Hajar aja dia, mi. Kayaknya udah lupa gender nya sendiri. dikiranya Bila bukan perempuan kali."

Aku memeletkan lidah ke arah Bian yang sedang berdiri dengan mulut terbuka. Setelah ini, mami pasti mengamuk. Karena faktanya, selain Bian dan kak Sabiya, mami juga sudah kelewat sayang denganku. Jadi, secara tidak langsung mami sudah menganggap aku sebagai adik Bian yang satu tahun lebih muda darinya.

❤️🧡💛

Cuap cuap

Tema yang begini ternyata cukup banyak juga ya. Mau di kemas gimana pun intinya tetap sama. teman yang jadi pacar atau teman yang jadi pasangan hidup. Tapi, abis aku pikir pikir lagi kalo emang ceritanya pure dari si penulis itu sendiri sih mau temanya sama tetap aja jalan ceritanya beda. Walau kadang ada beberapa plot yang sama, cara kemas si penulis pasti ada yang beda dan menurut aku itu yang bikin cerita dengan tema yang sama punya kesan beragam untuk para pembaca.

(Mau nulis cuap cuap ini aja mesti mikir dulu, penting nggak sih aku kasih tau? Trus aku inget kalo temen aku sering bilang gini "sebahagia kamu nya aja" ya udah aku bahagia bahagiain aja nulis cuap cuap beginian Hahaha)

See u di bab berikutnya

Kisah Kita SelamanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang