***
Hari ini aku memutuskan untuk bertemu dengan kak Ghina. Tetapi, sebelum itu aku harus terlebih dulu menemui sahabat tercintaku sang tiang berjalan yang beberapa hari ini lenyap dari penglihatan seolah mencoba menghindariku di setiap kesempatan. Saat aku berkunjung kerumahnya, pasti dia sudah menghilang dengan alasan yang bermacam ragam. Kerja kelompok lah, ngopi sambil buat skripsi bareng anak kampus lah, sampai main-main ke kantor kak Ghina yang tidak mungkin benar. Satu-satunya alasan yang masuk akal dari aksi menghindarnya adalah, dia takut aku akan memihak mami dan terus membujuknya untuk melupakan niat menikahi kak Ghina.
Pagi-pagi sekali aku sudah siap dengan tas ransel yang berisikan proposal skripsi yang sudah kujadikan empat jilid untuk kuberikan pada bu Salma. Sebenarnya masih bisa sampai minggu depan, tetapi karena aku mendengar Bian juga akan menyerahkan proposalnya hari ini, aku jadi kerja semalaman untuk menyelesaikan jilid itu agar memiliki alasan mengajak Bian bicara dengan alasan butuh tumpangan ke kampus.
Ini adalah hari ketiga dalam percobaan menemui si tiang berjalan. Kemarin-kemarin saat aku berkunjung kerumahnya, ternyata dia sudah terlebih dulu kabur di pagi buta. Jadi, hari ini saat jam masih menunjukkan pukul tujuh pagi aku sudah meluncur kerumahnya.
Di depan rumah, aku melihat mami sedang menyemprot bunga di depan terasnya.
"Assalamualaikum, mami." Sapaku sambil meraih tangan mami untuk kusalami.
"Waalaikumsalam. Tumben pagi banget Bil,"
Sebelum menjawab aku terlebih dulu menunjukkan cengiranku pada mami.
"Mau ajak Bian berangkat bareng, mi. Dia masih di rumah 'kan?"
"Masih, Bil. Masih tidur lagi," Mendengar ucapan mami membuat senyumku kembali tersungging.
"Mi, izin ganggu anaknya, ya?"
Mami hanya tertawa mendengar perkataan ku lalu mengangguk sambil menyuruhku masuk.
"Kali ini mau kemana lagi kamu tiang!" gumamku sambil membenarkan letak ransel lalu bergegas menuju kekamarnya. Kali ini, tidak akan kubiarkan dia kembali menghindar dariku.
Kutarik napas lalu kuatur sedemikian rupa. Setelah itu, dengan gerakan pelan kubuka pintu kamar tersebut hingga sukses terbuka sepenuhnya. Aku mendengus saat melihat si pemilik kamar masih setia bergelung dalam selimutnya. Aku pikir dia sudah bersiap untuk menghindar kembali, ternyata masih di alam mimpi. Pelan-pelan aku berjalan menuju ke arah ranjangnya. Lalu dengan usil aku menyibak selimut yang menutupi kepalanya.
SRET!
"Astagfirullah!" Aku tersentak kaget saat melihat mata Bian menatap ke arahku. Bahkan tanpa sadar aku menyibak hampir setengah bagian selimut miliknya yang membuatku harus mendapat pemandangan tidak biasa dari Bian.
"Ngapain?" Tanya Bian dengan wajah bantalnya.
Aku masih berdiri memegang dadaku yang masih berdetak kencang karena kaget melihat Bian yang ternyata sudah bangun.
"Sejak kapan kamu tidur masih pakai kemeja sama celana jeans?" Tanyaku dengan raut wajah sudah berusaha kunetralkan. Meski jantungku masih berdegup lebih kencang dari biasanya.
"Minggu lalu." Ucap Bian tanpa semangat.
Aku menghembuskan napasku lalu duduk di tepi ranjang Bian.
"Stres?" Tanyaku kemudian.
Bian mengangguk kemudian bangkit dan duduk dengan bahu bersandar di ranjang. Melihat keadaannya saat ini tanpa bertanya pun aku sudah tau bahwa tingkat depresinya cukup tinggi. Dia yang biasanya menurut penuturan mami tidak bisa tidur jika belum mandi atau masih berpakaian lengkap, nyatanya sekarang masih menggunakan kemeja lengan panjang dan celana jeans. Mungkin itu pakaian yang kemarin dipakai olehnya. Sungguh malang sahabatku yang satu ini, karena cinta hidupnya bisa begitu berantakan.
Kini aku yakin keputusanku untuk berada dipihaknya sudah benar. Setidaknya, aku masih sanggup melihat dia yang kekanakan dari pada dia yang setengah waras begini.
"Aku udah putusin bakalan ada di pihak kamu, Bi. Beberapa hari lalu mami ke rumah sambil nangis, katanya nggak rela anak bungsunya nikah kecepatan. Dan aku sudah berbaik hati bujuk mami untuk kasih restunya. Tapi—" Aku menghentikan ucapan ku sambil melirik ke arah Bian yang masih setia dengan wajah bantalnya.
"Tapi?" Akhirnya dia bertanya balik padaku.
"Tapi masih ada satu masalah lagi." Ucapku.
"Masalah apa?"
"Jangan potong saat aku ngomong, ya. Dengerin sampai habis." Ucapku yang dibalas anggukan oleh Bian.
Sebelum menceritakan perihal apa yang kulihat di kafe saat itu, aku menarik napas dalam lalu menghembuskannya dengan pelan.
"Jadi, sekitar dua minggu yang lalu aku makan es krim bareng Karin di snowflake. Terus nggak sengaja liat kak Ghina bareng sama anak kecil dan Damar. Mereka ngobrol santai sih, walaupun keliatan serius. Tapi yang buat aku risih kenapa kak Ghina kelihatan akrab dengan Damar, ya?" Aku mengehentikan sejenak ceritaku saat melihat Bian ingin memotong.
"Tunggu dulu. Kamu tau maksud 'akrab' yang aku bilang 'kan?" Jelasku hati-hati sambil membuat tanda kutip dengan tanganku saat menyebut kata 'akrab'.
Bian mengangguk dengan santai.
"Mereka memang masih dekat. karena putusnya juga baik-baik. Jadi aku nggak masalah. Ghina juga terbuka masalah itu sama aku. Anak kecil itu pasti Bunga, adik bungsunya Ghina."
Niatku yang semula ingin bertemu dengan kak Ghina hilang entah kemana. Mendengar penuturan Bian yang santai membuatku berasumsi kalau itu bukanlah masalah besar. Jika Bian menerima hal itu maka aku tidak perlu mempermasalahkannya lagi.
"Jadi udah yakin nih nikah muda?" Godaku sambil menaik turunkan alisku menatap Bian.
"Yakin!" Aku kaget mendengar jawaban Bian yang penuh semangat itu, wajah lesunya langsung berubah menjadi berbinar.
"Semangat banget, bung!" Ucapku dengan mata melebar.
Sementara Bian hanya tertawa sambil beranjak dari tempat tidurnya.
"Mau kemana?" tanyaku.
"Mandi. Mau ke kampus ketemu bu Salma."
Aku tersenyum mendengar nada suara Bian yang persis seperti anak kecil baru mendapat mainan baru.
"Aku tunggu di bawah ya, tiang." Teriakku lalu keluar dari kamar Bian sebelum mendengar ucapan Bian yang tidak jelas terdengar di balik kamar mandi.
❤️🧡💛
V
ersi lengkap ada di kbm dan karyakarsa ya
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Kita Selamanya
General Fiction"Gimana kalau kamu aja, Bil... setidaknya kalian sudah saling mengerti satu sama lain. Jadi, bunda dan mami bisa tenang kalau kalian bersama." Aku yang sedari tadi menunduk hanya bisa semakin menunduk mendengar ceramah dari dua orang wanita yang ama...