CH. 8 Despair, Rage, and Affection

0 0 0
                                    

Siang itu, di bulan April yang cerah, Ami memantapkan langkahnya dan memasuki kawasan rumah tahanan Fuchu yang berada di barat kota Tokyo. Dia berjalan beriringan dengan Surya sambil memegang erat tas selempangnya. Wajahnya terlihat gugup, sesekali dia mengambil napas dan membuangnya pelan.

“tidak usah gugup. Berbicaralah padanya dengan santai” sahut Surya yang menyadari ketegangan di wajah Ami.

“ya…” balas Ami dengan mantap, walaupun suaranya terdengar agak bergetar.

Setelah menyelesaikan masalah administrasi kunjungan ke rumah tahanan tersebut, mereka pun memasuki ruangn dengan kaca pembatas yang memang difungsikan untuk kunjungan kerabat dari para tahanan disana. Mereka menunggu beberapa saat hingga seorang petugas membawa masuk tahanan dengan nomor 1321 di seragamnya. Mereka masuk melalui pintu di seberang kaca pembatas. Tahanan dengan rambut yang sudah melebih telinganya itupun duduk di kursi dengan tangannya yang terborgol.

“yo, kamu sudah bosan berbicara denganku kan? Hari ini, aku membawa teman. Dia Ami” ujar Surya dengan riang.

Berkebalikan dengan air muka Andre yang muram.
Ami memandang Andre dengan perasaan takut sekaligus penasaran. Andre pun balas memandang Ami dengan tatapan matanya yang sayu. Saat itu juga, Ami merasakan sesuatu berdesir didadanya. Dia tertegun namun dia juga merasa iba. Mata hitam Andre itu memancarkan keputusasaan, kemarahan, dan juga kasih di saat bersamaan.

Baru kali ini, Ami bertemu dengan orang yang selama ini dianggapnya hanya ada di imajinasinya saja. Menjadi seorang penulis amatiran seperti dirinya, membuatnya memiliki banyak imajinasi yang tidak terbatas. Tatapan mata Andre adalah sesuatu yang pernah melintas di khayalannya. Sesuatu yang pernah sangat ingin dilihatnya. Karena itu, dia hanya bisa terdiam untuk sesaat.

“nah, kalau begitu aku akan meninggalkan kalian. Mengobrollah sepuasnya” kata Surya sambil menepuk pelan pundak Ami. Dan dia meninggalkan mereka berdua yang masih tenggelam dalam keheningan.

Sepeninggal Surya, kesunyian masih mengisi ruangan tersebut. Ami masih saja memandangi Andre, kali ini bukan karena ingin mengagumi tatapan matanya namun dia menunggunya untuk berbicara lebih dulu. Itulah rencana yang selama 2 minggu kemarin dia pikirkan. Petugas yang berada di belakang Andre pun terheran-heran melihat mereka yang sama sekali belum mengucapkan sepatah katapun.

“bukankah ada yang ingin kamu bicarakan disini?” tanya Andre dengan wajah kesal. Dia sudah merasa bosan dengan keheningan itu.

“bukankah mas juga punya banyak pertanyaan? Aku tidak bisa menjawabnya kalau mas tidak bertanya” balas Ami dengan nada agak ketus.

Dia mengurungkan niatnya untuk bersikap ‘sok menakutkan’ didepannya. Karena itu hanya akan mempersulitnya berbicara dengan Andre.

“hah?” kata Andre sinis. “kenapa aku yang harus bertanya?”

“apa mas tidak penasaran? Kenapa aku bisa mengenal adikmu? Kenapa aku sampai bersikap sejauh ini hanya untuk menemuimu? Atau yang lainnya”

Andre mendengus, “kalau kamu kesini hanya untuk membuat keributan denganku, lebih baik pergilah”  kemudian dia beranjak dari kursinya.

“baiklah, sampai ketemu minggu depan, mas” seru Ami sambil tersenyum.

Andre hanya membalasnya dengan tatapan heran bercampur kesal. Kehidupan 2 bulan terakhirnya di penjara sepertinya akan penuh drama.

Surya yang menunggu di luar merasa heran karena Ami keluar begitu cepat. Tapi dia tidak banyak bertanya dan mengantarnya pulang.
Andre pun kembali ke lapangan luas di tengah rumah tahanan itu. Lapangan itu menjadi tempat para tahanan bersantai di siang hari. Entah dengan berolahraga, bermain catur, atau membully tahanan yang lain. Disana, Andre hanya bergaul dengan satu orang, seorang tahanan dengan label merah didadanya. Dia terlihat berumur 40 tahunan, dengan badan tegap dan berotot. Mereka bersantai di sebuah kursi panjang yang dapat ditemukan di setiap sudut lapangan.

PathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang