CH. 7 Penulis Itu Penulis

2 0 0
                                    

“ini, senpai” ujar Ami sambil menyerahkan naskah ceritanya.

Dia menjadikan perpustakaan pribadi Fian sebagai tempat ‘nongkrong’-nya yang baru. Setidaknya, sambil menunggu café Surya kembali dibuka.

“kenapa di-print? Kamu hanya perlu mengirimkannya lewat email saja seperti biasanya” kata Fian sambil membaca naskah itu.

“aku hanya ingin melihat responmu yang sebenarnya. Jadi, ku-print saja” Ami pun duduk di sofa sambil melihat-lihat komik –yang masih saja- berserakan di atas meja. Fian terlihat serius membaca naskah itu, sesekali dia tersenyum.

“hanya seperti itu?” sahut Ami, dia memandangi wajah Fian sejak tadi dan terlihat gugup menunggu responnya.

“apa kamu ingin mengganti genre-nya? waktu itu aku hanya memberimu saran saja, aku tidak memaksamu”

“aku hanya ingin mencoba menulis romcom. Kalau menurutmu tidak menarik, ya sudah. Pakai naskah yang sebelumnya saja”

“sebenarnya ini menarik. Tapi, menurutku hanya sebatas ini responnya” kata Fian sambil ‘nyengir’. “seperti itu.

Kalau aku yang membacanya, responku seperti itu. Tapi aku tidak tau kalau orang lain yang membacanya” lanjutnya.

Ami terlihat sedikit tidak puas. Tapi, dia menerimanya, “yah, sebenarnya saat aku menulis itu pun aku tidak tersenyum. Kalau begitu pakai naskah yang sebelumnya saja”

Fian berpikir sejenak kemudian berkata, “tidak, kurasa ini masih bisa dipakai. Kamu tidak keberatan kan kalau aku memolesnya sedikit?”

“terserah senpai”

Fian pun menghampiri Ami dan duduk disampingnya. “ami, jujurlah padaku, apa…kamu menyukaiku?”

“tidak juga, kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu? Apa senpai menyukaiku?” Ami balik bertanya. Sepertinya, dia sudah terbiasa dengan kata-kata dengan vibe seperti itu.

“tidak juga?” Fian mengangkat alisnya, heran.

“…aku menyukai senpai. Tapi, bukan antara laki-laki dan wanita, aku hanya menyukai sifatmu. Selalu terbuka dan tidak menggurui, semacam itu.”

“yaah, sayang sekali, padahal aku mulai menyukaimu. Lalu, siapa yang kamu sukai? Surya?”

Ami tertawa mendengar pertanyaan yang sama. ‘apakah aku terlalu dekat dengan mas Surya ya?’ pikirnya.

“tidak. Sebenarnya, dulu aku juga pernah menyukainya, tapi tidak lagi. Aku tidak ingin memikirkan hal itu sekarang. Ada hal lain yang lebih kukhawatirkan.”

“hiyaa, kamu membosankan. memangnya kamu hidup untuk orang lain saja? Hiduplah untuk dirimu sendiri juga…eh, barusan itu kalimat yang keren” Fian pun segera kembali ke meja kerjanya dan menuliskan perkataannya yang tadi di notes kecil.
“ngomong-ngomong, kamu akan mengajakku kemana, senpai? Minggu lalu kamu bilang aku harus mengosongkan jadwalku”

“ah, benar juga. Lusa, besok lusa jam 11 apa kamu ada waktu?” Fian balik bertanya.

“ya, kuliahku jam 8 dan jam 1 siang, kurasa bisa. Kamu tidak akan mengajakku ke tempat yang aneh-aneh kan, senpai?”

“kenapa? Kamu mau kuajak ke tempat yang aneh-aneh?”

“tidak apa-apa, aku akan membunuhmu di tempat, saat itu juga….aku pergi dulu, ya, senpai” ujar Ami dengan nada santai, dia pun beranjak pergi meninggalkan tempat itu.

“wahh, bagaimana bisa kamu mengatakannya dengan wajah seperti itu? Menakutkan…” gumam Fian.

Hari semakin sore, dan langit sudah mengganti tirainya. Ami memutuskan untuk tidak langsung pulang ke apartemennya, melainkan pergi ke toko buku. Itu adalah kebiasannya saat dia merasa bosan atau ingin mencari ide baru, membaca sinopsis novel yang dipajang disana, atau membaca novel yang plastiknya sudah terlepas. Tentu saja, novel yang dibacanya kebanyakan berbahasa Inggris, namun dia juga mencoba  novel lainnya yang berbahasa Jepang. Hanya saja, dia perlu mengejanya.

PathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang