CH. 11 Kebodohan

1 0 0
                                    

Musim dingin sudah tiba di Jepang. Hiasan Kristal-kristal es menjadi dekorasi baru jalan, rumah dan setiap tempat di kota Tokyo. Mantel musim dingin dan baju tebal berlapis menjadi outfit wajib terutama saat hujan salju turun.

Ami sudah mengoleksi baju musim dingin –diskon- sejak dia tiba di Jepang, tentunya disesuaikan dengan kondisi uang sakunya. Dan, semuanya berwarna gelap. Mungkin untuk mencocokkan dengan sifat stoic-nya.

Dia menjalani kehidupan kuliah seperti hari-hari biasa. Meski terkadang rasa malas menghampirinya, cuaca dingin ditambah hujan salju yang datangnya tidak terduga membuat aktivitasnya sedikit lambat daripada biasanya.

Sudah hampir 1 tahun lamanya Ami berada di kota dengan segala gemerlapnya itu. Setiap waktu, dia berusaha memenuhi ekspektasi setiap orang, entah itu orang tuanya, profesornya, dan teman-temannya.

Ekspektasi dosen Jepang tentu lebih tinggi dibandingkan saat dia berkuliah mengejar titel sarjana mudanya. Dan, itulah yang membuatnya terkadang berteriak sendiri di dalam kamarnya sambil menutup mulutnya dengan bantal. Yah, cukup ampuh untuk melampiaskan sedikit kejenuhannya.

Setiap minggunya, Ami menyempatkan diri untuk pergi ke rumah Fian dan membantu ibunya melakukan pekerjaan rumah. Keluarga itu memilih untuk tidak lagi menggunakan jas pembantu. Meminimalkan pengeluaran, setidaknya sampai Fian mendapatkan pekerjaan tetap, pikir ibu dengan anak tunggal itu.

“ami, kamu tidak sibuk? Hampir setiap minggu kamu kesini. Apa itu tidak masalah?” tanya ibu FIan sambil memasukkan bumbu-bumbu ke dalam sup miso untuk makan malamnya.

“tidak apa-apa, bibi. Tiap hari minggu aku tidak terlalu banyak pekerjaan. Di apartemen juga tidak banyak yang kulakukan. Tidak perlu khawatir.” Jawab Ami sambil tersenyum.

Dia memilih menggunakan kata ‘ bibi ‘ dibandingkan tante, agak sedikit aneh kalau memanggil ibu Fian yang notabene orang Jepang itu dengan sebutan tante. Meski sebenarnya itu bukan hal yang terkesan aneh.

“apa mas Fian juga bekerja part time di hari minggu?” lanjutnya sambil memotong-motong tofu.

“sepertinya hanya hari ini saja. Dia bilang ada pesanan dengan jumlah banyak. Minggu kemarin dia juga bekerja hingga malam sebenarnya” ibu Fian menghela napas kemudian melanjutkan, “anak itu terlalu bekerja keras. Dia tidak mendengarkanku meskipun sudah berulang kali kuminta untuk berhenti”

Ami hanya tersenyum tipis mendengarnya, namun senyuman itu menyiratkan kesan iba.

Setelah menyelesaikan urusannya di dapur, Ami naik ke loteng tempat dia biasa menghabiskan waktu di rumah Fian. Sembari menunggu Fian pulang, dia merampungkan sebagian tesisnya. Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka dan Fian langsung merebahkan dirinya di lantai.

“wuah…aku merasa seperti akan mati” dia melemparkan jaket dan rasnya ke sudut ruangan dan memejamkan matanya. “ami, kamu disini sejak tadi pagi?” sahutnya dengan mata terpejam.

“siang. Aku disini sejak tadi siang. Kupikir senpai tidak akan bekerja”

“haahh…aku juga ingin seperti itu. Tapi, manajer restauran ayam itu benar-benar tidak memberiku istirahat. Harusnya aku resign  saja” keluh Fian.

“kenapa tidak mencari tempat lain saja daripada dia terus menyiksamu?”

Fian menggelengkan kepalanya, “aku tidak punya pilihan lain. Bayarannya lumayan besar, dan dia juga membawakanku seporsi ayam saat selesai bekerja. Meski aku mulai bosan memakannya”

Ami hanya mengangguk-angguk dan terus fokus pada layar laptopnya.

“apa yang kamu lakukan?” tanya Fian sambil menjulurkan kepalanya, melihat Ami yang sedang sibuk mengetik.

PathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang