CH. 2 Maafkan Aku

3 0 0
                                    

Siang itu, Ami berlari-lari di koridor rumah sakit dengan raut wajah panik. Dia tidak memperdulikan lututnya yang sakit karena terjatuh berulang kali. Sepertinya, dia juga tidak memperhatikan tatapan orang-orang disekitarnya yang sesekali menghujatnya karena berlarian di koridor.

Setelah menemukan kamar 1254 yang dicarinya itu, dia bergegas masuk dan menemui Nia yang sedang terbaring lemah dengan berbagai macam selang di tubuhnya. Dia berjalan mendekati ranjang Nia dengan nafas terengah-engah.

“tante…sejak kapan dia seperti ini? Kenapa baru memberitahu saya?” Ami berteriak di akhir kalimatnya, beriringan dengan isak tangis Ibu Nia yang duduk di samping ranjang sambil terus menggenggam tangan anaknya itu.

“maafkan aku, Ami. Nia…anak ini tidak ingin kamu melihatnya dalam kondisi seperti ini. Aku baru bisa memberitahumu karena kupikir kamu akan lebih sedih…”

“tentu saja saya akan merasa lebih sedih, kenapa tante melakukan hal itu?” Ami memotong perkataan ibu Nia, nadanya sedikit merendah.

Dia berlutut di samping ranjang Nia. Air matanya sudah tidak terbendung, dan dia pun menangis sejadi-jadinya. Selama ini, Ami tidak pernah menunjukkan perasaannya pada orang lain dengan mudah. Tapi, kali ini dia menangis seolah melampiaskan semua beban didadanya.

Tiba-tiba, tangisannya berhenti saat melihat jari Nia yang sedikit bergerak. Suara lemah gadis 17 tahun itu pun terdengar.

“mama…”

Seketika, Ami berdiri dan mengamati Nia dengan wajah khawatir.

“oh…mbak juga disini” ujar Nia sambil tersenyum.

“yah, sepertinya rencanaku gagal…”lanjutnya.

“kenapa kamu tersenyum seperti itu, bodoh? Aku benar-benar mengkhawatirkanmu…” Ami menahan kemarahannya sambil terus terisak.

“anak ini benar-benar…kenapa kamu selalu membuat orang lain khawatir?” Ibu Nia mengusap-ngusap kepala anaknya sambil tersenyum lega.

“aku akan memanggil dokter dulu, ya.” Lanjutnya sambil beranjak pergi.

“ya…” balas Nia.

Dia pun mengalihkan pandangannya pada Ami yang belum berhenti menangis.

“sudahlah, mbak. Aku kan sudah siuman. Aku tidak menyangka mbak juga bisa menangis” katanya sambil tertawa kecil.

“kamu pikir aku bukan manusia? tentu saja aku bisa menangis. Sebenarnya, apa yang kamu rencanakan? Ini bukan waktu yang tepat untuk memberikan kejutan apapun” tukas Ami dengan nada kesal.

“mmm…yah, aku berencana untuk pergi diam-diam. Hehe. Mbak kan juga sedang mengurus beasiswa itu. Aku tidak ingin menjadi halangan buat mbak untuk mendapatkannya. Jadi, aku minta mama agar merahasiakan semuanya dari mbak, kalau terjadi sesuatu padaku.”

Melihat wajah Ami yang tidak senang dengan balasannya, Nia pun memasang wajah bersalah.

“maaf, mbak. Aku sedikit egois. Aku hanya takut menjadi kegagalanmu. Mbak punya kehidupan yang lebih pasti dan lebih lama dariku, aku tidak ingin merenggut semua itu darimu. Tapi, sepertinya aku tidak memikirkan perasaanmu sama sekali. Maaf, ya mbak.” lanjutnya, masih dengan suara parau.

Ami pun duduk di pinggir ranjang Nia, dan menggenggam tangannya. Dia menangis lagi.

“bodoh, selama ini kamu menganggapku apa? Apa kamu pikir aku hanya menganggapmu murid bodoh, boros, jelek, yang ingin belajar privat denganku?” dia mengusap air matanya dan melanjutkan sambil menatap mata Nia, lekat.

  “ maaf, aku kelewatan. Aku sangat marah sekarang, karena keegoisanmu itu. Tapi, selama ini aku benar-benar menganggapmu keluargaku. Aku menganggapmu seperti adikku sendiri. Aku tidak tau kenapa, hanya saja, aku merasa nyaman denganmu. Karena itu, jangan lakukan hal seperti ini lagi, kumohon.”

PathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang